Prabowo dan Bayangan Konfusius tentang Empat Watak Pemimpin Ideal

Prabowo dan Bayangan Konfusius tentang Empat Watak Pemimpin Ideal

Dalam kampanye politiknya, Prabowo tampil sebagai sosok negarawan senior—tampak sabar, bijaksana, dan katanya siap mengabdi sepenuh hati bagi republik. Banyak pendukungnya yakin, Prabowo telah matang secara emosional, sudah melalui masa-masa galau kekuasaan. Tiga pilpres cukup untuknya dengan berbuah manis kemenangan pada tahun 2024.

Tapi setelah terlampaui 100 hari kepemimpinannya, justru kini muncul keraguan: apakah kematangan usia Prabowo selaras dengan kematangan kepemimpinannya?

Di tengah situasi itu, saya teringat Konfusius. Filsuf asal Tiongkok yang berbicara tentang syarat-syarat pemimpin yang baik. Dalam Analects, ia menyebut empat ciri utama seorang pemimpin yang patut diteladani. Dan saya pikir, ini saat yang tepat bagi Prabowo untuk tidak hanya berkaca pada dirinya sendiri. Menjadikan kebijaksanaan Konfusius sebagai cerminan dirinya sebagai pemimpin.

Bukan sebab Konfusius suci, tapi karena ajarannya menyimpan cermin tajam: apakah Prabowo benar-benar siap menjadi pemimpin yang membangun peradaban, atau hanya penguasa yang tenggelam dalam pragmatisme dan euforia kuasa?

Bisa Menguasai Diri Sendiri

Konfusius menilai bahwa pemimpin harus mampu menguasai diri: tidak terburu nafsu, tidak reaktif, dan tahu kapan harus berbicara atau diam. Ini soal karakter, bukan hanya soal gaya. Tapi kita semua tahu, Prabowo punya rekam jejak panjang dengan sikap temperamennya. Kasus membentak wartawan, marah-marah saat debat capres, hingga mimik wajah yang sering tak konsisten. Mimik yang membingungkan antara lucu atau memang menyeramkan—Prabowo tampak belum sepenuhnya selesai dengan dirinya sendiri.

Padahal, di tengah krisis ekonomi dan geopolitik, rakyat butuh pemimpin yang stabil secara emosional. Bukan yang gampang naik darah ketika dikritik atau baper kalau tak dipuji. Kalau kata Konfusius: “Jika kamu tak bisa memerintah dirimu sendiri, bagaimana kamu bisa memerintah orang lain?”

Lebih dari itu, dalam pengambilan kebijakan tentu dibutuhkan intuisi yang kuat—bukan sekadar laporan staf ahli—untuk memahami kebutuhan mendasar rakyat. Kalau rakyat butuh harga sembako stabil, ya jangan malah bikin sensasi geopolitik atau pencitraan luar negeri yang tak berakar apalagi hanya mencitrakan diri menjadi sahabat dari semua negara.

Mengutamakan Keadilan daripada Kepentingan PribadiKonfusius

Konfusius percaya bahwa seorang pemimpin harus adil dan memikirkan kebaikan bersama, bukan sekadar mengakomodasi kroninya atau membalas jasa. Tapi lha kok, bahkan sebelum Prabowo dilantik, sudah banyak  bocoran soal jatah menteri, utusan khusus, hingga staf-staf yang tampaknya lebih banyak unsur “balas budi” ketimbang kompetensi. Konfusius pasti kecewa, sebab baginya, keadilan tak boleh dikaburkan oleh perasaan pribadi. “Pemimpin besar tidak memilih berdasarkan suka atau tidak suka, tetapi berdasarkan kelayakan,” begitu sabdanya.

Yang lebih menyakitkan adalah, ketika para pengamat mengingatkan Prabowo akan keberadaan “kabinet gemuk” ciptaannya.  Ia malah mengamplifikasi pesan itu dengan gaya khasnya: mengejek para kritikus dengan nada bercanda yang agak getir. Ya, “ndasmu” lah, ya “biarlah anjing menggonggong” lah. Padahal kenyataannya, dengan banyaknya kementerian dan lembaga yang sekarang ada, publik bisa tunjuk hidung satu-dua kementerian yang kerjaannya cuma nerima audiensi dan kunjungan instansi. Kerjaannya tak jauh beda dengan resepsionis hotel bintang empat.

Memahami Ajaran dan Sejarah

Konfusius menekankan pentingnya pemimpin yang belajar dari sejarah dan memahami nilai-nilai dasar dalam tata pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, ini bisa berarti memahami Pancasila, UUD 1945, dan  dinamika sejarah bangsa yang penuh luka dan perjuangan. Kalau Prabowo mau belajar dari Konfusius, ia akan tahu bahwa “kepemimpinan bukanlah perkara dagang untung-rugi, melainkan perkara nilai dan jejak panjang yang akan dikenang.”

Tapi sikap Prabowo yang terkesan pragmatis dan mudah berkompromi dengan kelompok mana pun terlebih yang berorientasi pada kekuasaan, menjadi fakta jika prinsip konfusius hanya jadi tempelan di pidato. Lihat saja keputusan kontroversialnya untuk menampung 1000 warga Gaza ke Indonesia. Sebuah langkah yang secara moral tampak luhur, namun secara geopolitik justru problematik—terutama jika dibaca sebagai bagian dari kalkulasi agar Indonesia tetap aman dari kebijakan tarif Trump yang keras terhadap negara-negara yang tak selaras dengan posisi Amerika Serikat di Timur Tengah.

Jangan-jangan, ini bukan soal solidaritas kemanusiaan, tapi justru semacam barter diam-diam agar ekspor nikel dan crude palm oil (CPO) kita tak lagi kena palu godam tarif. Kalau benar begitu, maka ini bukan ajaran sejarah atau etik, melainkan strategi bertahan yang oportunistis. Ingat, pemerintahan sedang berhadapan dengan rakyat banyak yang sejatinya sedang “berpuasa”. Sebab harus bersabar menghadapi orientasi yang entah mengapa bilangnya anti impor tapi ujungnya membuka keran impor. Belum lagi, warga sedang diminta mengencangkan ikat pinggang karena potongan pajak sana sini, angka nilai tukar dolar naik, dan IHSG yang menurun.

Menunjuk Pembantu Berdasarkan Kecakapan dan Pengalaman

Konfusius juga mewanti-wanti bahwa pemimpin harus bijak dalam menunjuk orang yang membantunya. Harus dilihat dari kompetensi, kecakapan, dan pengalaman. Bukan dari seberapa sering mereka nongol di podcast ata seberapa rajin mereka mengangkat telepon dari Prabowo. Seandainya Konfusius hidup hari ini, mungkin ia akan berkata: “Negara besar tidak boleh dijalankan oleh orang-orang kecil yang sibuk memamerkan diri.”

Tapi nyatanya, pemerintahan hari ini diramaikan oleh nama-nama yang bikin publik mengernyitkan dahi. Banyak utusan khusus dan staf yang lebih mirip duta pariwisata ketimbang pejabat negara. Lebih bisa bergaya di media sosial ketimbang merumuskan kebijakan luar negeri atau ekonomi, ya maklum sih anggaran terpotong karena efisiensi. Dan jangan lupa, mereka semua digaji dari uang rakyat.

Belum lagi urusan sirene dan strobo mobil dinas pejabat yang sering melaju tanpa penumpang, dengan vorijder yang menodong rakyat biasa yang kebetulan sedang menyetir angkot atau ojek online. Negara ini seperti milik segelintir orang yang merasa paling berhak mendapat pengawalan, sementara yang lain cuma numpang hidup sambil bayar pajak.

Konfusius Mengelus Dada

Seandainya Konfusius hidup hari ini, mungkin beliau akan mengelus dada sambil berkata: “Lu pikir ini negara bisa dijalankan pakai sabda pandita ratu dan gaya orkestra dadakan?”

Sungguh, empat watak pemimpin ideal dari Konfusius itu bukan barang baru. Tapi tampaknya masih terlalu baru bagi mereka yang lebih sibuk mengejar kekuasaan ketimbang memahami maknanya.

Dan ini belum kita bahas tentang Asta Brata—delapan sifat luhur pemimpin Nusantara yang seharusnya menjadi dasar etika kekuasaan: bijak laksana langit, menyejukkan seperti air, tegas seperti angin, hangat seperti matahari, dan seterusnya. Tapi ya, apa gunanya bicara langit dan samudra, kalau elite kita sibuk berebut kursi dan sirene?

Jadi, sebenarnya apakah kita sedang melihat seorang pemimpin yang memegang kemudi negara atau sama saja seperti seorang amatir yang belajar menyetir pakai SIM tembak?

 

Penulis : Probo Darono Yakti

Editor : Imam Gazi Al Farizi

 

Baca Juga : The Silent War: Pertempuran Propaganda Wacana Dwifungsi TNI atau kolom esai lainnya

Probo Darono Yakti

One response to “Prabowo dan Bayangan Konfusius tentang Empat Watak Pemimpin Ideal”

  1. […] Juga : Prabowo dan Bayangan Konfusius tentang Empat Watak Pemimpin Ideal atau kolom esai […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *