Revolusi dan Gigi (Palsu): Wajah Pongah di Tengah Gagah

Revolusi dan Gigi (Palsu): Wajah Pongah di Tengah Gagah

Para penonton film berjudul Perang Kota (2025) mungkin akan sewot bila ingin mencari kadar persamaan dengan novel berjudul Jalan Tak Ada Ujung (1952) gubahan Mochtar Lubis. Film mengenai revolusi, memunculkan tokoh tokoh dirundung ketakutan, heroisme, dan kebimbangan. Para tokoh dalam film ini memiliki nama yang sama dengan tokoh-tokoh dalam novel. Perbedaan telak dalam urusan raga. Penikmat novel pasti kaget mengetahui raga-raga dalam film tak sesuai imajinasi saat membuka halaman-halaman memuat Guru Isa, Fatimah, dan Hazil.

Kenikmatan menonton film tanpa mengingat novel itu penting. Penonton tak usah sibuk membandingkan atau lelah mencari persamaan dan perbedaan. Di film, para tokoh membawakan cerita berlatar revolusi. Penonton terkesima sajian gambar. Rampung menonton film, percik-percik sejarah ikut terkenang meski sebentar.

Kita tak ingin kelamaan berdebat mutu film atau pikat novel. Di depan kita, buku kecil berjudul Jalan Tak Ada Ujung. Kita membuka halaman-halaman secara acak, berharap menemukan kejutan dari pengisahan oleh Mochtar Lubis. Kutipan tak penting: “Baru jauh malam, setelah dia tahu Fatimah telah tidur, Guru Isa berdiri dari kursi dan merebahkan dirinya di tempat tidur.” Kita membaca derita Guru Isa sebagai lelaki dan suami tak sanggup melunaskan hajat berahi kepada Fatimah.

Kita justru tergoda kalimat-kalimat lanjutan: “Paginya, dia terbangun. Mulutnya tidak enak dan bau. Dia lupa lagi merendam gigi palsunya. Dan, dia tidak bangkit dari tempat tidur. Tubuhnya rasanya sakit. Seluruh siang itu dia menunggu polisi militer datang menangkapnya dengan ketakutan tumbuh bertambah-tambah besar menekan dirinya.” Lelaki dalam ketakutan. Ia mengerti revolusi pun mengandung kepalsuan. Guru Isa justru terlupa merendam gigi palsu. Lupa berakibat situasi makin terasakan buruk.

Tokoh itu merana dalam hukuman. Ia bergerak di jalan revolusi tapi harus menanggung petaka. Sosok penakut dan ringkih. Tubuh ditendang serdadu. Raga mengalami siksaan. Guru Isa mengerti itu hukuman berat. Adegan jeda dari siksa dialami Guru Isa dan Hazil: “Beberapa lama kemudian, waktu telah berhenti mengalir bagi mereka berdua di dalam kamar kecil. Guru Isa membuka matanya dan merintih kesakitan. Hazil datang mendekatinya dan mencoba menariknya supaya duduk. Tetapi, Guru Isa menahan tangannya dan berkata parau gemetar dan patah-patah.” Guru Isa merasakan sakit tapi mementingkan gigi. Ia berkata: “Tolong gigiku… Dan, Hazil memungut giginya yang terjatuh di lantai, memberikannya pada Guru Isa.”  Novel gubahan Mohtar Lubis mengingatkan revolusi mengandung masalah gigi (palsu). Revolusi (tak) boleh selalu palsu.

Kita beralih mengikuti perasaan-perasaan tak bahagia tokoh saat pagi hari. Ia menemukan pagi tapi ribut gara-gara gigi. Kita membuka novel berjudul Bergegas Mengudara (2022) gubahan George Orwell. Novel ditulis pada 1938-1939, telat lama diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Pembaca menemukan tokoh dan konsekuensi perang. Gigi (palsu) tetap masalah terpenting meski ajakan mengerti situasi pelik di dunia menjadi keutamaan.

Pengisahan oleh tokoh bernama George Bowling: “Aku tersadar saat ini hampir selalu merasa murung di pagi hari, meskipun aku tidur nyenyak dan pencernaanku baik. Aku tahu itu, tentu saja – itu gigi palsu berdarah itu. Benda itu diperbesar oleh air di gelas dan menyeringai padaku seperti gigi di tengkorak. Ini memberi perasaan busuk saat bertemu gusimu, semacam perasaan terjepit, layu seperti saat menggigit apel asam.” Ia pun mendeklarasikan: “Gigi palsu adalah tengara.” Pagi tak selalu indah. Pagi itu gigi palsu membawa beragam kenangan dan masalah, tak sekadar biografis.

Tokoh bergigi palsu mengetahui dunia belum terang dan sulit bahagia. Ia mengerti negara-negara di dunia menimbulkan perang berakibat penderitaan panjang dan kematian. Situasi dunia terus memburuk. Pemilik gigi palsu pun merasakan pagi-pagi tanpa otentik. Ia bermasalah dengan gigi palsu, menguak masa lalu dan harga diri sebagai lelaki. Gigi palsu membuktikan kekalahan dalam mengelola raga dan mencari penampilan terbaik dalam hidup.

Kita menemukan dua novel mengenai perang, mengikutkan derita tokoh berurusan gigi palsu. Revolusi atau perang tak menginginkan sosok-sosok ompong, Revolui harus “bergigi” agar menang dan kelah menjadi ketetapan dalam sejarah. George Orwel dan Mochtar Lubis tak membuat janji untuk mengisahkan gigi palsu. Mereka berada dalam tempat berbeda meski terhubungkan oleh perang: menjelang dan setelah Perang Dunia II.

Di bacaan berbeda, gigi palsu bukan cuma masalah pribadi. Gigi palsu menjadi persoalan publik saat kota tiba-tiba berubah rupa. Kita membaca cerita anak terbit di Australia digubah oleh Rod Climent. Buku itu berjudul Grandad’s Teeth (2006). Kakek kehilangan gigi palsu. Keluarga geger. Kehilangan atau pencurian itu dilaporkan ke polisi berakibat geger setelah sulit mencari pencuri dan menemukan kembali gigi palsu. Kota pun geger, terdampak pencarian gigi palsu.

Kehilangan gigi palsu mengakibatkan kakek tak bisa bicara dengan jelas dan benar. Cara bicara terdengar lucu. Kakek ingin tetap terhormat dengan menggunakan lagi gigi palsu. Penantian sekian hari dengan kegagalan. Tindakan cepat oleh polisi menimbulkan “revolusi”. Selebaran mengenai kehilangan gigi palsu dipasang di pelbagai tempat. Polisi berhasil menangkap sekian orang dianggap sebagai pencuri. Kita mengutip: “Mereka semua diminta tersenyum. Kebanyakan dari mereka ompong, tapi hanya satu atau dua gigi yang ompong, bukan semuanya.” Gagal. Mereka bukan pencuri.

“Revolusi” sedang terjadi gara-gara kakek: “Setelah beberapa hari, inspektur terpaksa mengakui bahwa tidak ada gigi yang ditemukan, tidak ada pencuri yang ditangkap, dan tidak ada petunjuk baru yang terungkap. Kakek mencurigai semua orang, terutama mereka yang tidak tersenyum. Tak lama kemudian, seluruh penduduk kota itu tersenyum kepadanya. Tapi, kakek tidak pernah membalas senyuman mereka karena ia tidak punya gigi.”

Cerita sangat berbeda dari dua tokoh muncul dalam novel gubahan Mochtar Lubis dan George Orwell. Kita justru mendapat “revolusi” mengejutkan saat mengetahui penduduk kota menampilkan wajah mengelak dari murung, cemberut, pucat, dan sendu. Begitu.

 

Baca Juga: Surabaya Tidak Seindah yang Orang Bayangkan, Tapi Jangan Khawatir Pemerintah Jago Urusan Pencitraan atau kolom esai lainnya

Bandung Mawardi Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *