Menghadiri orgen tunggal di depan sound-nya yang enggak begitu besar saja sudah membuat gendang telinga saya bergetar tak beraturan. Apalagi bagi mereka penyintas sound horeg, yaitu mereka yang depan rumahnya dilintasi oleh parade sound itu. Saya enggak bisa membayangkan seberapa budegnya telinga mereka.
Terlepas dari permasalahan sound horeg. Sudah barang tentu ada yang setuju dan tidak -agaknya lebih banyak yang kontra. Saya ajak untuk berpikir sejenak: mengapa saat mendengar sound horeg yang suaranya sudah masuk kategori tingak kencang yang luar biasa, telinga kita tidak bisa menerima suaranya? Atau, dalam konteks yang lain, misalkan saat konser malah ngepasi berdiri di depan sound-nya, kenapa suara yang ditangkap oleh telinga menjadi tidak jelas?
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya mencoba menguraikan dari kacamata ilmu linguistik. Tentu ini bukan bermaksud menggurui, tetapi lebih kepada menjawab orang-orang yang sering repot bertanya, “belajar ilmu linguistik itu gunanya apa, sih?” atau “kenapa repot-repot belajar linguistik jika enggak mempelajarinya saja kita sudah bisa berbahasa?”. Padahal, linguistik sebenarnya lebih dari mempelajari sebuah bahasa.
Sound Horeg dari Asal Bunyinya, Distribusinya, hingga Kebudegan Telinga
Dalam keilmuan linguistik, dikenal subdisiplin ilmu fonologi yang mempelajari segala hal yang berkaitan dengan bunyi. Ilmu fonologi dibagi lagi menjadi dua, yaitu ilmu fonetik dan fonemik. Nah, untuk menganalisis sound horeg ini kita butuhkan ilmu fonetik. Alasannya simpel, fonetik mempelajari segala macam bunyi, termasuk bunyi sound bila perlu, sedangkan fonemik lebih spesifik kepada bunyi bahasa. Alasan turunannya, sound horeg tidak bisa berbahasa layaknya manusia.
Untuk mempermudah pemahaman kita semua, fonetik dibagi lagi kedalam tiga sub-disiplin, mengambil sedikit istilahnya Charles Darwin, the origin of the sound. Urutan pertama adalah fonetik artikulatoris yang akan menganalisis bagaimana bunyi sound horeg dihasilkan. Kedua adalah fonetik akustik yang menjelaskan bagaimana bunyi menggelegar dari sound horeg didistribusikan ke telinga orang-orang.
Dan yang terakhir, bagaimana bunyinya bisa ditangkap dan membuat telinga budeg, adalah porsi bagi fonetik auditoris. Untuk catatan, bagian fonetik auditoris ini akan saya berikan porsi yang lebih banyak. Alasannya, fonetik artikulatoris dan akustik dalam kasus sound horeg lebih banyak bersinggungan dengan disiplin ilmu lain.
Getaran Speaker: Asal Bunyi Kencang dari Sound Horeg
Sebenarnya, kalau membahas bagaimana bunyi sound horeg diproduksi, yang lebih memadai untuk menjelaskannya adalah disiplin ilmu fisika. Akan tetapi, fonetik artikulatoris dalam linguistik, yang dipakai untuk menganalisis bunyi bahasa yang dikeluarkan manusia, bisa juga dianalogikan dengan ilmu fisika.
Menurut fonetik artikulatoris, bunyi yang dihasilkan manusia berasal dari getaran yang ditimbulkan oleh pita suara. Begitu juga dalam sound horeg. Menurut hukum fisika, bunyi dari sound tersebut dihasilkan oleh aliran listrik yang membuat speaker bergetar.
Kemudian, getaran tersebut menyebabkan molekul udara di sekitarnya juga ikut bergetar. Pada fase ini, getaran memicu reaksi berantai getaran gelombang suara di seluruh medium sehingga bunyi dapat keluar. Semakin besar getaran, semakin kencang bunyi yang dihasilkan.
Atau, jika getarannya tidak gede-gede amat, tetapi speaker yang digunakan banyak, maka akan berakumulasi menghasilkan bunyi yang kencang. Seperti dikutip dari Kompas dalam artikel berjudul “Hiburan Rakyat yang Menggetarkan”, satu paket sound horeg terdiri dari 12 boks dan setiap boksnya berisi 4 speaker. Itu berarti, kemungkinan besar sound horeg yang sering berkeliaran mengangkut sekitar 48 speaker.
Bagaimana Bunyi Sound Horeg Didistribusikan?
Fonetik akustik sebenarnya perpaduan antara ilmu fonetik dan akustik. Dalam hal siapa yang lebih mendominasi, sudah jelas adalah ilmu akustik. Hal itu karena ilmu akustik mempelajari bagaimana bunyi dapat didistribusikan, sedangkan fonetik memanfaatkannya untuk menganalisis bunyi bahasa. Sederhananya, ilmu fonetik hanya numpang di sini. Oleh karena itu, saya yang lebih ke fonetiknya juga akan menganalisis kaitan fonetik akustik dengan sound horeg secara simpel saja, tidak usah dalam-dalam.
Jadi begini, media perambatan bunyi ada tiga, yaitu benda cair, padat, dan gas. Dari ketiga itu, bunyi merambat paling cepat pada benda padat, kemudian cair, dan yang terakhir gas. Sound horeg, walaupun suaranya memang merambat melalui udara (dalam hal ini mewakili benda gas), tetapi mobil yang membawanya masih berjalan di atas tanah (benda padat).
Sehingga, getaran dari speaker bisa menggetarkan mobil yang mengangkutnya, mobil tersebut mengalirkan bunyi ke jalan yang dilewatinya, kemudian dari jalan tersebut bunyi akan merambat ke berbagai penjuru. Karena hal itulah bunyi dari sound horeg bisa sebegitu menggetarkannya sampai-sampai banyak sekali kasus jendela atau genteng yang remuk dibuatnya.
Dengan demikian, sound horeg adalah perpaduan antara dua hal dahsyat di bidang perbunyian: getaran keras sebagai asal bunyinya dan media perambatnya yang ndilalahe melalui benda padat. Tinggal menunggu waktu saja untuk dua kombinasi itu tersampaikan ke kombinasi yang ketiga: telinga yang menjadi budeg karena mendengarnya.
Mengapa Telinga Bisa Menjadi Budeg Saat Mendengar Sound Horeg?
Pada pembukaan tulisan ini, saya sudah menawarkan sebuah logika sederhana yang ditolak mentah-mentah oleh logika sound horeg, yaitu indra pendengaran yang menjadi budeg atau tidak berfungsi ketika mendengar suara sound tersebut.
Padahal, jika dilogika, bunyi yang lirih akan membuat telinga tidak bisa mendengarnya. Sebaliknya, semakin keras volume bunyi, saharusnya semakin berfungsi pula telinga untuk menangkapnya. Akan tetapi, itu kan yang “seharusnya”, sedangkan sound horeg sejak awal kemunculannya memang sudah keluar dari tatanan keharusan di dalam masyarakat.
Dalam analisis yang pernah dirilis oleh BUPA (semacam perusahaan asuransi kesehatan global), yang dalam hal ini berkaitan dengan fonetik auditoris, ternyata logika sound horeg tersebut bisa dijelaskan. Bahwa di dalam telinga manusia terdapat bagian yang dinamakan koklea. Di dalam koklea, ada rambut yang fungsinya menyalurkan bunyi sampai ke otak. Penjelasannya, saat rambut-rambut koklea digetarkan oleh bunyi, hal itu menyebabkan sinyal listrik mengalir menuju otak. Masalahnya ialah ketika telinga menangkap bunyi yang terlalu keras sehingga dapat memicu kematian pada sel-sel rambut koklea. Oleh sebab itu, sinyal listrik yang seharusnya disalurkan ke otak menjadi tidak muncul.
Dalam tataran desibel (satuan pengukur bunyi), bunyi yang normal diterima dengan nyaman oleh otak adalah bunyi dalam kisaran 10-80 desibel. Sedangkan sound horeg, besarnya bisa mencapai 135 desibel! Inilah yang bisa menjelaskan mengapa sound horeg yang keras malah tidak bisa diterima suaranya oleh telinga. Atau, dalam tataran yang lebih parah bisa menyebabkan kebudegan.
Bahkan, saat saya menguji mesin pencarian di google dengan kata kunci “135 desibel bunyi apa?, langsung muncul Ai overview yang mengatakan “bunyi dengan tingkat 135 desibel (dB) bisa setara dengan suara dari beberapa sumber yang sangat keras, seperti ledakan kembang api, suara tembakan, dan suara dari “sound horeg” yang bisa merusak pendengaran, bahkan menyebabkan tuli permanen jika terpapar terlalu lama”.
Yang lain lagi, dikutip dari hearLIFE, bunyi di atas 120 desibel dikategorikan sebagai “suara yang menyakitkan telinga”. Masuk dalam kategori ini adalah suara kembang api dengan radius satu meter dari pendengarnya, suara pesawat ketika lepas landas, senjata api, hingga mesin jet.
Manusia Dengan Tipe Koklea yang Berbeda?
Dengan demikian, dalam analisis linguistik, dapat ditarik kesimpulan bahwa sound horeg memang terdiri dari kompilasi tidak wajar atau “di luar keharusan” dalam seluruh proses kehidupannya. Hal itu dapat dilihat dari awal kemunculan bunyinya, pendistribusian bunyi, hingga saat bunyi tesebut memangkas sel-sel rambut koklea. Sehingga, bagi manusia pada umumnya, sound horeg adalah momok yang cukup menakutkan untuk indra pendengaran.
Akan tetapi, walaupun sudah menulis hingga panjang lebar seperti ini, saya masih mempunyai pertanyaan yang belum terjawab: jika manusia normal bisa mengalami kebudegan saat sel rambut kokleanya rusak, lantas kalau pejabat yang budeg saat mendengar aspirasi rakyat, yang rusak apanya? Atau, apakah tipe koklea milik mereka berbeda dengan koklea milik manusia kebanyakan?
Wallāhu a‘lam bisshawāb
Penulis : Muhamad Muflihun
Editor: Imam Gazi Al Farizi
Leave a Reply