Beberapa waktu lalu, ramai seorang kreator konten mengangkat seputar terselip logat. Mereka mencoba membagikan pengalaman unik ketika tanpa sengaja melontarkan dialek atau logat saat ngobrol dengan rekannya dari luar daerah asal mereka. Biasanya, setelah itu, mereka menunjukkan gestur “terundung” yang dibarengi dengan si lawan bicara yang menirukan logat asal si kreator.
Misalnya, seorang kreator konten penutur bahasa Jawa Ngapak sedang berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia ragam gaul. Tiba-tiba, di tengah percakapan, kreator tersebut tak sengaja mengucapkan kosakata “laka” yang artinya “tidak ada”. Sontak rekan kreator tersebut langsung menirukan dialek Ngapak dengan konotasi mengejek.
Bagi sebagian warganet, konten seperti ini memang terkesan lucu, karena mungkin sebagian dari mereka, atau bahkan kita merasa relate dengan yang dialami si kreator konten, yakni sering dicemooh setelah tak sengaja terselip logat daerah ketika berkomunikasi. Sadar atau tidak, di balik lucunya konten tersebut, tersimpan fenomena yang perlu kita beri perhatian lebih, yakni diskriminasi linguistik. Sebuah diskriminasi yang secara tidak sadar sangat dekat dengan kehidupan kita.
Antara Diskriminasi Linguistik dan Rasisme
Sejak kecil, kita telah diperkenalkan dengan beragam jenis diskriminasi, diantaranya diskriminasi suku, agama, ras, dan antar golongan. Tapi, sebenarnya ada satu bentuk diskriminasi yang erat dengan kehidupan sehari-hari kita. Bahkan, mungkin kita sendiri pernah melakukannya. Namun, sayangnya, kita jarang sekali diedukasi soal diskriminasi jenis ini.
Meminjam penjelasan Drożdżowicz & Peled, bahwa diskriminasi linguistik merupakan bentuk perlakuan tidak adil kepada seseorang yang didasarkan pada penggunaan bahasanya. Bentuknya dapat berupa ejekan terhadap dialek dan aksen, pendiskreditan pada ranah sosial dan profesional, hingga kebencian yang disebarluaskan supaya orang lain turut melakukan hal yang sama.
Menurut penelitian Stephen May pada tahun 2023 di Sage Journal, kasus pertama diskriminasi linguistik yang tercatat dalam sejarah dilakukan oleh bangsa kolonial di Selandia Baru kepada penduduk pribumi, Maori. Ia mengungkapkan bahwa diskriminasi linguistik dipengaruhi oleh kaum elit yang berusaha menunjukkan superioritasnya melalui tindak rasisme tulisan, ucapan, dan metode komunikasi lainnya. Kaum elit ini berspekulasi bahwa cara seseorang menggunakan bahasa sangat berkaitan dengan status sosialnya.
Biasanya Diskriminasi linguistik tumbuh subur di lingkungan yang beranggapan bahwa bahasa tertentu berada di posisi yang lebih unggul atau lebih rendah dari yang lain. Umumnya, diskriminasi dilakukan oleh sekelompok penutur bahasa yang mendominasi suatu wilayah kepada penutur bahasa minoritas. Hal ini tentu lumrah ditemui di daerah urban yang multilingual, seperti halnya kota-kota besar di Indonesia. Terlebih karena tiap masyarakatnya hidup berdampingan dengan membawa identitas budaya masing-masing.
Mengapa ini bisa disebut tindak kriminal?
Pada 2018, Henry Samuel menulis sebuah artikel di Telegraph mengenai pengusulan diskriminasi linguistik sebagai tindak pidana. Ini semua dilatarbelakangi oleh perilaku Jean-Luc Melenchon, anggota parlemen Perancis yang melakukan diskriminasi linguistik terhadap jurnalis. Bermula dari penggerebekan markas partai kiri Perancis, seorang jurnalis mengajukan pertanyaan kepada Melenchon menggunakan aksen Toulouse. Bukannya menjawab secara substansial, Melenchon justru melontarkan balasan yang terkesan mengejek,
“Dapatkah seseorang mengajukan pertanyaan kepada saya dalam bahasa Perancis dan sedikit lebih mudah dimengerti (daripada orang ini)…”
Sontak pernyataan tersebut memicu kemarahan dari anggota parlemen Paris, Laetitia Avia di platform Twitter. Bahkan, ia mencanangkan bahwa diskriminasi linguistik sebagai tindak pidana melalui RUU.
Respons cepat dari Avia ini sepatutnya diimplementasikan juga di Indonesia. Aksen dan logat merupakan ciri khas kedaerahan, bukan menjadi dasar dalam melakukan diskriminasi. Terlebih lagi, Indonesia terkenal karena persatuan di atas keberagamannya. Identitas etnis yang dapat dikenali melalui bahasanya perlu dukungan lebih, bukan malah menjadi standar dari penentuan kelas sosial atau kompetensi seseorang.
Media turut serta dalam Penyebarluasan Diskriminasi Linguistik
Perkembangan diskriminasi linguistik makin masif dengan hadirnya teknologi media sosial yang memungkinkan khalayak menyebarluaskan pandangannya terkait stratifikasi bahasa. Tidak bisa dimungkiri, media massa memainkan peran penting dalam pembentukan stereotip bahasa seseorang (Umam & Ali, 2024). Setiap konten media yang menggambarkan keunggulan atau hal positif dari suatu bahasa, maka kemungkinan terbentuknya stereotip positif di masyarakat akan meningkat, begitupun sebaliknya.
Sejak era kejayaan industri hiburan televisi, kita sering disuguhkan dengan tontonan yang menampilkan diskriminasi bahasa. Misalnya, banyak sinetron yang memberikan peran tokoh yang dianggap bawahan kepada penutur bahasa daerah, seperti asisten rumah tangga, petugas kebersihan, karyawan, pengemis, dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh tersebut digambarkan memiliki tampilan visual yang kumal dan Sedangkan, tokoh utama atau yang dianggap berpengaruh, condong diperankan menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Jakarta.
Fenomena ini sudah terjadi bertahun-tahun, sehingga sudah membentuk stereotip masyarakat kita sekarang dalam memandang seseorang berdasarkan bahasanya. Penutur dengan dialek daerahnya cenderung dianggap kampungan. Sedangkan, penutur bahasa Indonesia dengan dialek Jakarta diposisikan oleh masyarakat sebagai acuan bahasa yang paling benar dan enak didengar.
Pada Akhirnya, Kita Semua Takut Menggunakan Dialek Asal Kita
Bukan hanya di Indonesia, diskriminasi linguistik juga sering dijumpai pada konten-konten internasional yang mendiskreditkan aksen Britania. Tentu sudah tak asing lagi dengan meme yang mengucilkan bahasa Inggris aksen Britania. Tak cukup hanya dari segi pengucapan, perbedaan kosakata yang tampak jomplang antara aksen Amerika dengan Britania juga berkontribusi dalam pendiskreditan penutur aksen Britania. Misalnya, penutur aksen Amerika menyebut kentang goreng sebagai fries, tetapi penutur aksen Britania menyebutnya dengan istilah chips.
Kepopuleran bahasa Inggris aksen Amerika di penjuru dunia memang mengalahkan aksen Britania. Hal inilah yang menjadikan penutur bahasa Inggris menganggap bahwa aksen Britania jauh lebih sulit dimengerti ketimbang aksen Amerika, sehingga mereka menjadikan aksen Britania sebagai bahan guyonan. Bahkan parahnya, ada yang sampai menganggap bahwa aksen Britania adalah bahasa yang terpisah dari bahasa Inggris.
Timbulnya sentimen negatif terhadap bahasa seperti contoh di atas akan menyebabkan seseorang takut dalam menunjukkan jati dirinya sebagai penutur bahasa tertentu. Sistem pertahanan diri seseorang akan memproses sentimen tersebut dengan menghindari pemakaian dialek bahasa yang dianggap “lebih rendah” dan mulai menggunakan dialek yang dianggap “lebih tinggi” demi bisa diterima oleh masyarakat.
Pada akhirnya, kepunahan dialek atau bahkan bahasa bukan menjadi hal yang mustahil setelahnya.
Penulis : Aji Permadi
Editor : Imam Gazi Al Farizi
Leave a Reply