Di Luar Juni dan Puisi Lainnya Karya Jasmine Noor

Di Luar Juni dan Puisi Lainnya Karya Jasmine Noor

DI LUAR JUNI

setiap malam bedebum
saat lampu jalanan meredup
dan suara kipas angin menjerit
seperti hantu yang kelelahan

percakapan kita
beringsut dari sela dinding
berjalan pelan di langit kamar
menjelma samar doa
yang entah kepada siapa harus sampai

aku mendengarmu bicara
dari seberang pematang sawah
dengan lidah tak bertubuh
dan setiap kalimatmu
terbakar pelan oleh waktu yang demam

di luar juni
bulan menyaksikan semuanya
dengan wajah yang kemalangan

aku pun tertidur
di dalam bisikan
yang mungkin bukan milikmu lagi—
hanya rasa iba yang meracau
yang sempat dilafalkan

penuh kacau

 

SENIN-SELASA-RABU-KAMIS-JUMAT

slipi atau senayan sama saja

senin-selasa-rabu-kamis-jumat
jam dinding terus berjalan ke belakang
sementara tikus mengigit shio
yang belajar membaca zodiak

 

setiap malam orang-orang tidur di halte
menunggu kereta yang hanya datang

dalam mimpi mantan mereka

tiada polisi atau security

yang menjaga mimpi buruk
yang menyisir kepala
untuk mencari sisa-sisa perpisahan

 

kau pernah tinggal di sini
mengalungi mantel

yang terbuat dari lenganku

dan topi dari sepuluh jariku

saat matahari terlalu terik untuk kau gauli

sempat kita janjikan sua di pukul lima
tapi jam di kota ini
menolak menunjukkan arah
selain patah

 

RUANG PENDINGIN

tepat pukul sepuluh
lampu kamar gemetar sendirian
seperti ingatan yang terlalu lama direbus
ponsel berdering
membawa namamu
dalam format suara
yang tak lagi dimiliki siapa-siapa

di ujung sana
dirimu terperangkap
dalam suaka berbentuk kulkas
di mana musim dingin
berlalu seperti acara yang dibatalkan

kau berbicara pelan
seperti sedang membaca wasiat
dari bibir orang mati

katamu pertemuan hanya sampai
di titik di mana waktu
tak bisa lagi dikunyah

aku mendengarkan
dengan telinga yang tuli
kemarau kematian
berjalan tanpa tulang
membawa satu koper
penuh janji yang dikeringkan

sejak itu tiap malam pukul sepuluh
aku mematung di kasur
seperti sepotong daging
yang bersuhu minus

dan tak seorang pun tahu
siapa sebenarnya yang mematikan lampu
di akhir cerita itu

 

YANG MENGINGKARIKU

aku lebih memilih mati
dengan hitam tubuhku

dan wajah yang ketakutan

daripada terus memagut
tanah yang menolak jejakku

di takdir ini mimpi dikuliti
digantung di dasar jurang
lalu dibakar perlahan
dengan sekejap hitungan

aku tak ingin hidup
di bumi yang menelanjangiku
seperti narapidana
di bawah langit yang begadang
memata-matai nahasku

jika tumbang mengerubungi
biarkan tubuhku membusuk
tanpa upacara di dalamnya
sebab telah kucintai

dunia yang hanya pandai
menelantarkan nyawa

 

Baca Juga: Enigma Poetica dan Puisi Lainnya Karya Pitrus Puspito atau kolom puisi lainnya

Jasmine Noor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *