DI LUAR JUNI
setiap malam bedebum
saat lampu jalanan meredup
dan suara kipas angin menjerit
seperti hantu yang kelelahan
percakapan kita
beringsut dari sela dinding
berjalan pelan di langit kamar
menjelma samar doa
yang entah kepada siapa harus sampai
aku mendengarmu bicara
dari seberang pematang sawah
dengan lidah tak bertubuh
dan setiap kalimatmu
terbakar pelan oleh waktu yang demam
di luar juni
bulan menyaksikan semuanya
dengan wajah yang kemalangan
aku pun tertidur
di dalam bisikan
yang mungkin bukan milikmu lagi—
hanya rasa iba yang meracau
yang sempat dilafalkan
penuh kacau
SENIN-SELASA-RABU-KAMIS-JUMAT
slipi atau senayan sama saja
senin-selasa-rabu-kamis-jumat
jam dinding terus berjalan ke belakang
sementara tikus mengigit shio
yang belajar membaca zodiak
setiap malam orang-orang tidur di halte
menunggu kereta yang hanya datang
dalam mimpi mantan mereka
tiada polisi atau security
yang menjaga mimpi buruk
yang menyisir kepala
untuk mencari sisa-sisa perpisahan
kau pernah tinggal di sini
mengalungi mantel
yang terbuat dari lenganku
dan topi dari sepuluh jariku
saat matahari terlalu terik untuk kau gauli
sempat kita janjikan sua di pukul lima
tapi jam di kota ini
menolak menunjukkan arah
selain patah
RUANG PENDINGIN
tepat pukul sepuluh
lampu kamar gemetar sendirian
seperti ingatan yang terlalu lama direbus
ponsel berdering
membawa namamu
dalam format suara
yang tak lagi dimiliki siapa-siapa
di ujung sana
dirimu terperangkap
dalam suaka berbentuk kulkas
di mana musim dingin
berlalu seperti acara yang dibatalkan
kau berbicara pelan
seperti sedang membaca wasiat
dari bibir orang mati
katamu pertemuan hanya sampai
di titik di mana waktu
tak bisa lagi dikunyah
aku mendengarkan
dengan telinga yang tuli
kemarau kematian
berjalan tanpa tulang
membawa satu koper
penuh janji yang dikeringkan
sejak itu tiap malam pukul sepuluh
aku mematung di kasur
seperti sepotong daging
yang bersuhu minus
dan tak seorang pun tahu
siapa sebenarnya yang mematikan lampu
di akhir cerita itu
YANG MENGINGKARIKU
aku lebih memilih mati
dengan hitam tubuhku
dan wajah yang ketakutan
daripada terus memagut
tanah yang menolak jejakku
di takdir ini mimpi dikuliti
digantung di dasar jurang
lalu dibakar perlahan
dengan sekejap hitungan
aku tak ingin hidup
di bumi yang menelanjangiku
seperti narapidana
di bawah langit yang begadang
memata-matai nahasku
jika tumbang mengerubungi
biarkan tubuhku membusuk
tanpa upacara di dalamnya
sebab telah kucintai
dunia yang hanya pandai
menelantarkan nyawa
Leave a Reply