Iman (?)
Pagi ini,
di gudang paling lembap dan anyir rongga dadanya,
ia menyembunyikan diri dari fatwa
penuh nafsu dan gebu
lewat mulut tetua kampung.
(Ia bingung apa mulut bisa membunuh orang.
Ia bersembunyi dengan tenang.)
“Ibadahmu sedangkal air sawah,
pantas Tuhan enggan mengalirkan berkah
ke hatimu yang pepat sampah.”
“Kalau kau beriman,
kepedihan akan segan menguliti kehidupan,
bila syukurmu sampai ke langit tuhan,
hujan hanyalah air yang menumbuhkan tanaman.”
Begitulah petuah tetua,
sambil menodongnya dengan mata mendakwa:
kau tercela.
Padahal, padahal,
Ia hanya bersedih,
dan kesedihan ialah material Tuhan ciptakan
agar manusia tetap berada di tempatnya.
Dan ketinggalan-ditinggalkan, kehilangan-dihilangkan,
ialah perih paling asam yang melumat seisi perut.
Ia merenung,
di gudang paling lembap dan anyir rongga dadanya.
Bila kesedihan pertanda kurangnya iman,
bagaimana dengan Yakub menangisi Yusuf
sampai hilang penglihatan?
Ia tak berani
meraba jawaban.
Orang Mati, Hidup di Rumahku
Hatiku rumah semua subuh,
dengan ada, tiada, cicit burung
di langit-langit kampung;
dengan ada, tiada, tukang sapu madrasah
dekat rumah;
dengan ada, tiada, mbok jamu
dan gembolannya.
Hatiku rumah semua asar,
dengan ada, tiada, anak tetangga
bermain galah;
dengan ada, tiada, bola bekel,
lompat tali, dan ui sumput.
Rumah semua lara,
tempat tukang sapu dikenang
setelah kepergiannya yang tiba-tiba;
tempat mantan sopir ayah
masih dapat dedoa basah
dari bibir yang pernah gelak
akan leluconnya.
Di rumah ini,
lupa tidak pernah lahir,
cinta mengalir,
namun nestapa tidak berakhir.
Di rumah ini,
yang sudah mati: hidup;
dan yang hidup: berkeliaran
di teras ingatan.
Beberapa orang jadi pelajaran,
beberapa lagi jadi perasaan.
Waras (?)
Puan, bagaimana ini?
Ternyata kopi hitam itu pahit.
Butuh menahun bagiku menyadarinya.
Mungkin hari-hari lalu aku keliru,
kopi pekat tak bersahabat dengan lidahku.
Waktu membuatku lupa
manis dan pahit rasa:
susu, jamu, kopi hitam tanpa gula,
dicecap sama rasa,
disesap sama aroma.
Lidah atau hidungku bermasalah?
Puan, bagaimana bisa?
Musik-musik itu mulai mengganggu,
melodinya pengang di telingaku.
Padahal dulu,
di bawah lampu ruang tengah,
sebelum purnama turun merambah:
Betapa Nama yang Indah—
piringan lagu pengantar tidur
atas duka-duka pendamba lara
masih sama di sudut sana.
Puan, apa ada yang aneh dengan tulisanku?
Frasa mana yang salah?
Apalah itu diksi?
Apa atau siapa?
Barangmu, tetangga sebelah?
Lalu apa metafora?
Nama jalan raya?
Mereka bilang aku pandai merangkai kata.
Apa itu kata?
Sejenis bunga?
Litotes, hiperbola,
apa aku mengenal salah satunya?
Ah. Shut ….
Begini, begini,
kelihatannya dokter agak lelah padaku.
Pil-pil itu tak membantu.
Lihat.
Lihat. Lihat.
Lihat. Sebegininya aku kehilanganmu.
Kutunggu Kau di Bawah Jembatan
Kalau suatu saat
hidup mau melompat
darimu, sayang,
beritakan padaku
satu jam lebih dulu.
Biar kutunggu hidup
di bawah jembatan.
Dan sekiranya
ia lari ke pelukanku,
atau kembali pulang
kepadamu.
Leave a Reply