Jika Kita Tak Pernah Ada
Jika kita tak pernah ada,
maka waktu umpama selembar kertas kosong—
tanpa coretan, tanpa tinta, tanpa makna
dan aku menyusurinya dengan seluruh jiwa raga.
lalu dalam perih kucoba tuk memahami—katamu kita tak pernah ada
maka setiap perjalanan adalah lagu yang tak pernah dinyanyikan;
tiada nada sudi untuk berirama—
sementara aku berlarian di antara genggaman dengan sepenggal cerita yang kau diamkan.
Jadi, jika kita tak pernah ada,
akan kunobatkan setiap pelukan itu sebagai ruang yang tak terpetakan—
dan menantinya seperti purnama terbit dalam kesamaran.
Jakarta, 23 September 2024
Air Hujan Terakhir
Aku laksana setetes air hujan bekas semalam
di antara daun-daun yang mengetuk jendela kamarmu,
berperang melawan siang ketika panas matahari dengan gusarnya memudarkan jejakku
dalam sisa-sisa waktu, hadirku makin sekarat—
sementara diam yang menjalar masih juga kaupeluk erat.
Beberapa desau angin berlalulalang memberitau,
berbisik melalui deritan di celah kusen-kusen pintu:
tiada penghuni rela membuka rumah dengan pekarangan yang basah.
lalu matahari, tanpa mengenal maaf menghilangkanku seutuhnya—
tersenyumlah engkau ketika terik,
atau barangkali sudah ada lain kasih yang kau lirik.
Jakarta, 2025
Pesan di Tepi Sungai
Kisah ini bagaikan lentera terakhir di tepi sungai bercabang
pendarnya menjadi penanda bahwa arus akan bermuara pada laut yang sama.
di sini, kapalku menunggu tiada jera
sementara sayup-sayup kudengar burung camar memberi tanya kepada cakrawala:
tentang kelana yang terpaksa harus ditunda.
Musim hujan berganti kemarau panjang,
tiada badai pun ombak menerjang—
hanya ada waktu yang tak sabar berselang
lalu kubisikkan kepada burung camar si pembawa kabar,
agar ia terbang menitipkan pesan kepada sesiapa saja yang datang—
untuk menjemput nahkoda kembali pulang.
Jakarta, 2025
Leave a Reply