layaknya sangkar di peraduan malam
bulan itu berlumur darah di peraduan malam
dialah saksi takdir pemutus tali yang kukeram
rinduku kini bagai peluru tiada pedang
menikam hati yang kujaga—menjadi kelam
terkulai aku ditelan dendam kasih yang malang
kupungut serpih di antara reruntuhan
ia rapuh bagai abu tak tergenggam tangan
jika cinta ini layaknya sangkar kesepian
maka kuikhlaskan sayapku—agar ia terbang
menuju tuhan, menjadi cerita tak bertulang
jakarta, 2023.
kemas saja hatimu
dalam diam, rela ku melepas
jalinan yang dulu melekat erat
ingin sekali kuubah jalannya takdir,
kau bergegas dengan kasih lainnya
bersikeras akal sehatku yang tersisa
biar kau bertaut di tempat lain
sedang aku meniti langkah sendiri
biar kau dapati seluruh genggaman
yang merangkumnya—bukan diriku
bilamana engkau akan tersanjung
meski pedih di dadaku menggunung
kupasrahkan seluruhmu berulang-ulang
kemas saja hatimu, pergi dan menghilang.
jakarta, 2024.
segala pinta diaminkan sepenuhnya
langit terkatup dalam doa
jauh dari suara gaduh semesta
seluruhnya kuaminkan sepenuhnya
bagai hamba dahaga mengulur pinta
memintal harapan yang tak kunjung sirna
diam-diam kutitipkan jiwa
pada nama yang selalu kusebut pelan
rinduku sangat jelas tak berujung
menggema dalam penantian panjang
kupasrahkan segala resah
biarkan semesta yang menimbang
jika itu takdir biar ia mendekap
dan jika bukan—biarlah luruh perlahan.
jakarta, 2023.
apa jadinya jika mei ini tanpamu?
apa jadinya bila kulalui mei tanpamu?
mungkin malam enggan membuai rembulan
membiarkannya karam dalam tiap lamunan
sedang aku mengambang pada sepi tiada tepi
aku akan menjelma angin tanpa musim
mengembara hari dengan langkah lunglai
menyapa beribu bayang yang bisu membatu
menyelam hening yang kini dipenuhi namamu
tanpamu di bulan ini
waktu sekadar susunan angka tiada makna
hari-hari hanyalah lembar kosong tak bernyawa
dan aku—tinta yang mengering,
sebelum sempat menuliskan jalan pulang.
jakarta, 2024.
Baca Juga : Waktu dan Puisi Lainnya Karya Fifi Farikhatul
Leave a Reply