Patahnya Narasi Tua
alkisah, ada sebuah kastil megah.
di mana sihir bernyanyi, dan naga berjaga.
seorang wanita bersandar di takhta tak kasat mata,
berdiam, dalam bilik tenang berbatu pualam.
namun, dongeng memahat—ia butuh penyelamat.
tanpa diundang, pedang berdatangan
dalam genggam para lelaki yang berseru:
“biar kuusir sunyi darimu!”
mereka bersikukuh—
dengan angkuh, bersuara bak pahlawan.
menerobos benteng kesunyian,
membuyarkan keheningan.
derap langkah kerasnya,
seolah menganggap lemah
sebuah tanah, yang mengalirkan banyak darah.
naga melingkar, lalu berbisik lembut:
“kau pemilik duniamu sendiri.”
namun sekali lagi,
dongeng menuliskan kisah lain:
ia terkurung, ia menanti,
padahal ia hanya menjaga bara jiwanya dari mati.
tetapi kali ini, kisah lama telah patah.
sihir berubah diksi, menjadi mantra.
seorang wanita berkuasa atas dirinya,
bukan lagi boneka dari narasi tua.
cermin emas keramat tunduk di hadapannya.
dongeng lama telah runtuh,
serpihannya mengilap di tanah.
sang ratu melangkah,
tanpa pedang, tanpa pangeran.
hanya secarik kertas
dan seutas pena:
menyelamatkan kisahnya.
Multitasking
pagi menggenggamku lebih dulu,
sedang malam, enggan melepaskan.
aku berpegang pada apa yang mereka juluki ketekunan,
meski di banyak waktu—
aku hanyalah kata lelah, yang kutumpukkan.
katanya aku makhluk serba bisa;
seutas tali kuat yang tak akan putus,
atau jaring yang mampu menampung segala.
pekerja multitalenta,
pesuruh multifungsi,
hingga manusia multiguna.
nampaknya, mereka tak benar-benar membaca.
aku hanya pelukis, dengan wewarna yang sering kali pudar,
terhapus oleh kebutuhan mereka,
kecuali diriku sendiri.
ada hari di mana aku adalah payung—
melindungi dari badai yang bahkan tidak kusemai.
sesekali menjadi meja—
tempat semua bersandar,
meski kaki-kaki ini tengah gemetar.
ingin rasanya menjadi angin saja—
tak terlihat, tak tersentuh, bebas bersauh.
menemukan jeda pada tiap-tiap gemuruh,
karena menaruh diri di ujung daftar—paling jauh.
Perempuan, Rindu, dan Bulan Merah
malam ini bulan merah merintih,
seolah tertindih sunyi tak bertepi.
ada rindu yang merupa cabang berduri,
menyentuh dinding hati—yang rapuh—
juga meluruh, seperti janji-janji yang teringkari.
kemudian hadir pelik,
dalam bentuk bayangan pada cermin retak.
siklusku berkuasa menghidupkannya lagi—
terbangkitkan, sebagai denyut nyeri di pinggangku,
di sela amarah yang membakar tanpa sebab.
peluruhan ini—
guyuran hujan deras
atas tubuh tanpa selubung pelindung.
rasanya bukan hanya di rahim
—tapi di kepala, di dada,
di tempat-tempat yang kala itu,
ia sentuh dengan penuh cinta.
tekanan darahku turun—aku goyah,
tapi hatiku melompat,
pada bayang-bayang bajingan yang kabur.
aku menangisi kenangan tentangnya,
mereka-reka rindu, yang terasa begitu nyata.
padahal, hormon dalam tubuhku saja
yang tengah bermain drama.
Leave a Reply