Pisau Khidir – Cerpen karya Muchamad Aly Reza

Pisau Khidir – Cerpen karya Muchamad Aly Reza

Matahari lingsir di atas kepala. Seperti sejak hari pertama puasa, tengah hari itu, Misbah gegas menuju bawah pohon trembesi di pinggir sungai di ujung timur desa. Dengan kalap ia mengeluarkan isi kresek hitam yang ia bawa: beberapa biji jambu air yang ia maling dari rumah salah satu warga. 

Dilahapnya satu per satu jambu itu. Mokel. Misbah memang tak pernah puasa. Neneknya sudah lepas tangan. Si yatim piatu itu kelewat bebal. Sekolah tak mau. Ngaji tak mau. Sembahyang apalagi, tidak sama sekali. “Sudah goblok, kafir pula”. Begitu kira-kira Nenek Misbah menggambarkan watak cucunya itu. 

Setelah jambu-jambu tandas, bocah umur 15 tahun yang kekenyangan itu langsung merebahkan badan. Silir nan teduh di bawah pohon trembesi membuat matanya diserang kantuk. Tak lama kemudian, Misbah terlelap, di siang bolong. 

***

Misbah tergeragap saat membuka mata. Hari sudah gelap. Sementara di hadapannya adalah sesosok orang tua. Berpakaian aneh. Berwajah asing. Berjenggot merah. Matanya bulat. Rambutnya panjang-kriting terurai. Jelmaan setan barangkali. 

Sosok aneh itu menyerahkan pisau kecil pada Misbah. Tanpa banyak bicara, hanya dengan seringai yang mengerikan. Lalu berlalu begitu saja. Sesaat kemudian, sosoknya hilang di balik kegelapan. 

Hanya tersisa derik jangkrik dan gemericik air sungai. Setelah sepenuhnya menyadari apa yang baru ia alami, Misbah langsung tunggang langgang menjauhi pohon trembesi itu. Di tangannya tergenggam erat sebilah pisau dari sosok tua yang ia kira setan sebelumnya. 

***

Misbah sedianya hendak langsung ke rumah neneknya. Namun, saat melintasi langgar, langkahnya terhenti. Teman-temannya tampak di sana. Bukan untuk tarawih, tapi tengah sibuk bergunjing di pelataran langgar. Misbah menyeret kakinya ke sana, untuk menceritakan apa yang baru saja ia alami di bawah pohon trembesi.

“Jangan-jangan wali,” celetuk satu teman Misbah, sebut saja A, sembari membolak-balik pisau yang Misbah tunjukkan.

“Tapi bisa juga jin. Wong keluarnya Magrib.” Sambung B. 

“Siapa tahu Nabi Khidir. Soalnya kalau kata Pak Ustaz, Nabi Khidir suka muncul di sungai atau laut.” Timpal C. 

“Eh, atau jangan-jangan cuma orang gila. Wong ini loh pisau biasa, nggak ada menarik-nariknya,” balas A lagi. 

“Kok kalian tidak berpikir kalau Misbah ini ngidul? Kan dia ini tukang bohong dan nyolong,” tambah B. 

Belum sempat si C berkorban lagi, Misbah merebut pisau yang tengah si C amati. Dengan wajah kesal, dia langsung pulang. 

***

Asumsi C soal bisa jadi yang memberi Misbah pisau adalah Nabi Khidir terngiang-ngiang di kepala Misbah. 

Meskipun tak pernah mengaji, ia pernah mendengar nama Nabi itu saat ikut nimbrung bersama A, B, dan C. Satu cerita yang Misbah ingat tentang Nabi itu adalah: membunuh bocah kecil yang sepintas terlihat tidak berdosa. Tapi kewaskitaan Nabi Khidir meramalkan, bocah itu kelak jika tumbuh dewasa akan menjadi sumber bencana. 

Di dalam kamar kecil berdinding kayu rumah neneknya, Misbah termangu di hadapan sebilah pisau yang ia geletakkan di lantai tanah. 

Lama termangu, tahu-tahu bebunyian kentongan terdengar bersahut-sahutan. 

Ternyata sudah masuk waktu sahur. Alih-alih keluar kamar untuk membangunkan sang nenek, Misbah memilih meringkuk di dalam sarung. Tidur. 

***

Matahari sudah lingsir. Azan Zuhur berkumandang. Misbah baru terbangun dari tidurnya. 

Dengan langkah masih terhuyung ia keluar kamar. Neneknya tidak ada di rumah. Kemungkinannya hanya dua: kalau tidak ke langgar untuk salat berjemaah, ya masih di pasar jualan klepon. 

Tapi peduli apa pada sang nenek. Misbah mengorek-ngorek lemari di dapur: tempat neneknya biasa menyimpan makanan. Ada sisa beberapa biji klepon di sana. Langsung saja Misbah menyantapnya dengan gragas. Untuk apa puasa? Menyiksa saja. 

Tanpa mandi, usai menyantap klepon sisa neneknya, Misbah meraih pisaunya. Siang itu, ia ingin kembali ke bawah pohon trembesi pinggir sungai di sisi timur desa. Ia masih penasaran dengan sosok tua pemberi pisau. 

Di sepanjang jalan menuju sungai, orang-orang desa menatapnya sinis. 

“Pancen bocah biadab.”

“Bocah kayak gitu mbok mati aja.” Dan sederet sumpah serapah yang lebih kasar dari itu. 

“Heh, mbahmu tertabrak motor di pasar. Kamu malah tenang-tenang saja.”

Ucapan seseorang membuat Misbah sedikit terhenyak. Ia langsung bergegas berlari menuju puskesmas. Di sebuah pembaringan, neneknya terkapar tak sadarkan diri, dengan baju bersimbah darah, juga kulit keriput yang tampek mengelupas. Tapi dadanya masih kembang kempis: tanda masih hidup. 

Di hadapan sang nenek, Misbah terpaku. Sejurus kemudian ia mengangkat bilah pisau yang sedari tadi ia genggam di tangan kanan, ia arahkan ke dadi si nenek.

Yang terjadi selanjutnya, pisau itu justru ia hunjamkan ke dadanya sendiri. Berkali-kali. Darah bermuncratan. Tubuhnya langsung menggelepar di lantai. Mati. Puskesmas langsung riuh okeh teriakan-teriakan. 

Sesaat sebelum Misbah mencabik-cabik tubuhnya sendiri itu, ia teringat kembali kisah bocah yang dibunuh oleh Nabi Khidir.

 

Yogya, Maret 2025/Ramadan 1446

Penulis: Muchamad Aly Reza

Muchamad Aly Reza

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *