Sebab, Babi Pernah Sebabi ini
semua salah babi-babi itu,
mendemonstrasikan pakai mikrofon
dari tai yang nyangkut di rumput sungai:
“rumah kita tetap rumah kita.
ini air kita,
ini tanah kita,
ini adalah bumi kita.”
hari itu mereka menggenggam rencana-
rencana
di daun talas yang licin, rapuh,
tertulis: begini ya begini
& begitu ya begitu.
sudah final. tak perlu lagi debat!
besoknya, di persimpangan,
babi-babi berdasi daun pisang melolong:
“ini perubahan besar!” teriak babi di
jembatan,
mantelnya daun kayu jati,
mahkotanya bunga asoka.
“ini hak asasi kita
sebagai penjaga bumi.”
mereka bersorak,
berdansa di atas lumpur.
membagikan daun talas
bertuliskan janji-janji:
tanah tanpa lumpur,
sungai tanpa bangkai,
udara tanpa sisa pembakaran.
tapi hujan turun sebelum pagi sempat
datang.
daun talas itu tak tahan basah,
kata-kata janji berlari ke sungai.
dan esoknya babi-babi itu mati.
terseret lumpur sendiri,
sungai bercerita tentang tubuh-tubuh babi
gempal,
yang lupa berenang dan lupa melolong,
atau sengaja dilupakan.
bumi tetap diam.
dan babi-babi itu, pernah sebabi ini.
Sungai Sirah Pilubang, Januari 2025
Rapat Anjing
suatu waktu,
kumpulan anjing mengadakan rapat di
lapangan bahasa,
berdiskusi tentang tiket perjalanan
ke luar negeri yang terjual habis.
barang-barang branded tergeletak di rak
seperti puisi dingin yang sudah kehilangan
makna,
kemewahan terbungkus rapi
dalam plastik ekskutif.
kumpulan anjing itu berdengung,
saling menyela,
bertanya siapa yang pantas mendapat
tiket pertama.
seekor anjing tua mengeong,
“yang punya rantai emas lebih berat,
dialah yang berhak melangkah duluan!”
seekor anjing muda mengeong,
“kalau aku tidak punya barang mewah,
apakah aku masih pantas disebut anjing?”
geongan anjing-anjing menjawab
serempak,
“tidak ada anjing tanpa label,
kau hanya setumpuk bulu yang gagal jadi
gaya.”
di tengah hiruk pikuk,
seekor anjing berbulu rontok berdiri,
ekornya lebih panjang dari rasa keyakinan,
sementara yang lain berbincang,
berdebat tentang pentingnya barang mewah,
yang dihargai setara dengan harga diri,
seakan harga mati,
seakan hidupnya terjerat oleh label,
seperti hutang yang tak bisa dibayar
dengan harga diri.
anjing-anjing lain mengeong setuju,
beberapa menggaruk tanah penuh
keraguan,
sementara seekor anjing kurus berbisik,
“kenapa kita harus terus memuja barang-
barang yang bukan milik kita?”
geongan mayoritas menenggelamkan
bisikan itu,
seperti gemuruh yang menutup segala
keraguan,
sambil mengendus-endus punggung satu
sama lain,
mencari jawaban di tujuan aroma yang
sama.
namun kawanan anjing itu lupa,
di balik label itu yang mereka puja,
bukan milik mereka yang sejati—
hanya bayang-bayang mimpi yang dibeli.
lalu angin datang membawa persaingan
dan ketakutan,
merontokkan mimpi-mimpi anjing
seperti bulu-bulunya yang berkibar
di atas tanah.
seekor anjing yang tertinggal memohon,
“bisakah kita berhenti mengejar sesuatu
yang tak pernah jadi milik kita?”
seekor anjing besar menjawab sambil
menggigit tulang,
“tidak ada anjing yang berhenti.
kita hanya berlari sampai rantai yang
memutuskan.”
gerombolan anjing itu gemetar,
“apalagi yang bisa kita kejar?”
satu per satu anjing mulai berlari sambil
mengeong,
mencari sesuatu yang lebih,
sementara anjing yang lain tetap di
tempat,
mengendus nama yang sudah hilang.
kawanan anjing itu berlari,
mencari sesuatu yang lebih—
tak tahu di dunia ini sudah merantai
mereka
dengan rantai tersembunyi,
leher anjing-anjing terlilit price tag
yang tak pernah lepas dari tubuh.
dan itulah yang menggerakkan mereka—
bukan kehendak anjing-anjing,
tapi hasrat yang dibungkus rapat
dalam terdengar seperti kebebasan.
Sungai Sirah Pilubang, Januari 2025
Tumbangnya Asu
di subuh yang tumpul,
angin malas bergerak dari utara ke barat,
kawanan gagak turun,
memakai jas yang tak menyerap luka,
sayap mereka sebentuk festival
kebebasan,
paruh-paruhnya mematuk kepala
kehormatan,
melesat dari dendam langit,
& bermata haus pesta.
tubuh asu tergeletak di lubang sumpah
berlumpur,
bersimbah darah yang mulai beku,
tapi bekas kuku kekuasaan masih
tertanam di tanah.
tanpa doa, tanpa ragu
jiwa disambar,
daging harga diri diseret paruh-paruh
kejam,
kemerdekaan yang dijanjikan koyak,
keadilan dibuang ke selokan.
gagak-gagak tak kenal kasihan,
siklus terus berulang,
hari ini pesta, besok bertengger,
menunggu mayat siapa tergeletak di
lubang yang sama.
Sungai Sirah Pilubang, Januari 2025
Mati Adalah Kebebasan
aku mendengar lagi suara tembakan
dari paruh dua gagak di atas langit,
meneriakkan: mati adalah kebebasan!
peluru melesat,
seperti pasal yang dibakar di atas mimbar,
menyasar ke dada yang tak lagi takut,
atau ke dalam mulut yang menelan janji
basi—
& nama yang berdiri di bibir jurang—
terangkat oleh payung hitam & darah,
tanpa ada yang peduli siapa
yang melihat—
rantai tersembunyi mematikan langkah,
menghimpit setiap gerak yang berusaha
bangkit,
sementara para bapak menyesap anggur
dari rahim perempuan yang sudah digauli,
mengunyah sumpah serapah
seperti baca doa rutin sebelum tidur,
sementara revolusi tinggal bekas tai
di celana dalamnya,
bercampur dengan air mata yang
menguap saat subuh,
& roda berputar-putar—
menelan habis anak-anak revolusi
yang terbuang
Sungai Sirah Pilubang, Januari 2025
Leave a Reply