Sebab, Babi Pernah Sebabi ini dan Puisi Lainnya Karya Palito

Sebab, Babi Pernah Sebabi ini dan Puisi Lainnya Karya Palito

Sebab, Babi Pernah Sebabi ini

semua salah babi-babi itu,

mendemonstrasikan pakai mikrofon

dari tai yang nyangkut di rumput sungai:

“rumah kita tetap rumah kita.

ini air kita,

ini tanah kita,

ini adalah bumi kita.”

 

hari itu mereka menggenggam rencana-

rencana

di daun talas yang licin, rapuh,

tertulis: begini ya begini

& begitu ya begitu.

sudah final. tak perlu lagi debat!

 

besoknya, di persimpangan,

babi-babi berdasi daun pisang melolong:

“ini perubahan besar!” teriak babi di

jembatan,

mantelnya daun kayu jati,

mahkotanya bunga asoka.

“ini hak asasi kita

sebagai penjaga bumi.”

 

mereka bersorak,

berdansa di atas lumpur.

membagikan daun talas

bertuliskan janji-janji:

tanah tanpa lumpur,

sungai tanpa bangkai,

udara tanpa sisa pembakaran.

 

tapi hujan turun sebelum pagi sempat

datang.

daun talas itu tak tahan basah,

kata-kata janji berlari ke sungai.

 

dan esoknya babi-babi itu mati.

terseret lumpur sendiri,

sungai bercerita tentang tubuh-tubuh babi

gempal,

yang lupa berenang dan lupa melolong,

atau sengaja dilupakan.

 

bumi tetap diam.

dan babi-babi itu, pernah sebabi ini.

 

Sungai Sirah Pilubang, Januari 2025

 

Rapat Anjing

suatu waktu,

kumpulan anjing mengadakan rapat di

lapangan bahasa,

berdiskusi tentang tiket perjalanan

ke luar negeri yang terjual habis.

barang-barang branded tergeletak di rak

seperti puisi dingin yang sudah kehilangan

makna,

kemewahan terbungkus rapi

dalam plastik ekskutif.

 

kumpulan anjing itu berdengung,

saling menyela,

bertanya siapa yang pantas mendapat

tiket pertama.

seekor anjing tua mengeong,

“yang punya rantai emas lebih berat,

dialah yang berhak melangkah duluan!”

 

seekor anjing muda mengeong,

“kalau aku tidak punya barang mewah,

apakah aku masih pantas disebut anjing?”

geongan anjing-anjing menjawab

serempak,

“tidak ada anjing tanpa label,

kau hanya setumpuk bulu yang gagal jadi

gaya.”

 

di tengah hiruk pikuk,

seekor anjing berbulu rontok berdiri,

ekornya lebih panjang dari rasa keyakinan,

sementara yang lain berbincang,

berdebat tentang pentingnya barang mewah,

yang dihargai setara dengan harga diri,

seakan harga mati,

seakan hidupnya terjerat oleh label,

seperti hutang yang tak bisa dibayar

dengan harga diri.

 

anjing-anjing lain mengeong setuju,

beberapa menggaruk tanah penuh

keraguan,

sementara seekor anjing kurus berbisik,

“kenapa kita harus terus memuja barang-

barang yang bukan milik kita?”

geongan mayoritas menenggelamkan

bisikan itu,

seperti gemuruh yang menutup segala

keraguan,

sambil mengendus-endus punggung satu

sama lain,

mencari jawaban di tujuan aroma yang

sama.

namun kawanan anjing itu lupa,

di balik label itu yang mereka puja,

bukan milik mereka yang sejati—

hanya bayang-bayang mimpi yang dibeli.

 

lalu angin datang membawa persaingan

dan ketakutan,

merontokkan mimpi-mimpi anjing

seperti bulu-bulunya yang berkibar

di atas tanah.

 

seekor anjing yang tertinggal memohon,

“bisakah kita berhenti mengejar sesuatu

yang tak pernah jadi milik kita?”

seekor anjing besar menjawab sambil

menggigit tulang,

“tidak ada anjing yang berhenti.

kita hanya berlari sampai rantai yang

memutuskan.”

gerombolan anjing itu gemetar,

“apalagi yang bisa kita kejar?”

satu per satu anjing mulai berlari sambil

mengeong,

mencari sesuatu yang lebih,

sementara anjing yang lain tetap di

tempat,

mengendus nama yang sudah hilang.

 

kawanan anjing itu berlari,

mencari sesuatu yang lebih—

tak tahu di dunia ini sudah merantai

mereka

dengan rantai tersembunyi,

leher anjing-anjing terlilit price tag

yang tak pernah lepas dari tubuh.

dan itulah yang menggerakkan mereka—

bukan kehendak anjing-anjing,

tapi hasrat yang dibungkus rapat

dalam terdengar seperti kebebasan.

 

Sungai Sirah Pilubang, Januari 2025

 

Tumbangnya Asu

di subuh yang tumpul,

angin malas bergerak dari utara ke barat,

kawanan gagak turun,

memakai jas yang tak menyerap luka,

sayap mereka sebentuk festival

kebebasan,

paruh-paruhnya mematuk kepala

kehormatan,

melesat dari dendam langit,

& bermata haus pesta.

tubuh asu tergeletak di lubang sumpah

berlumpur,

bersimbah darah yang mulai beku,

tapi bekas kuku kekuasaan masih

tertanam di tanah.

tanpa doa, tanpa ragu

jiwa disambar,

daging harga diri diseret paruh-paruh

kejam,

kemerdekaan yang dijanjikan koyak,

keadilan dibuang ke selokan.

gagak-gagak tak kenal kasihan,

siklus terus berulang,

hari ini pesta, besok bertengger,

menunggu mayat siapa tergeletak di

lubang yang sama.

 

Sungai Sirah Pilubang, Januari 2025

 

Mati Adalah Kebebasan

aku mendengar lagi suara tembakan

dari paruh dua gagak di atas langit,

meneriakkan: mati adalah kebebasan!

peluru melesat,

seperti pasal yang dibakar di atas mimbar,

menyasar ke dada yang tak lagi takut,

atau ke dalam mulut yang menelan janji

basi—

 

& nama yang berdiri di bibir jurang—

terangkat oleh payung hitam & darah,

tanpa ada yang peduli siapa

yang melihat—

rantai tersembunyi mematikan langkah,

menghimpit setiap gerak yang berusaha

bangkit,

 

sementara para bapak menyesap anggur

dari rahim perempuan yang sudah digauli,

mengunyah sumpah serapah

seperti baca doa rutin sebelum tidur,

sementara revolusi tinggal bekas tai

di celana dalamnya,

bercampur dengan air mata yang

menguap saat subuh,

 

& roda berputar-putar—

menelan habis anak-anak revolusi

yang terbuang

 

Sungai Sirah Pilubang, Januari 2025

 

Baca Juga : Ayah Bekerja Sebagai Petani dan Puisi Lainnya Karya Zikri Amanda Hidayat

Palito

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *