Nggak Semua yang Viral Itu Valid: Sebuah Pengakuan Dosa Seorang Buzzer

Nggak Semua yang Viral Itu Valid: Sebuah Pengakuan Dosa Seorang Buzzer

Media sosial kerap dianggap sebagai dunia alternatif daripada realitas yang sebenarnya. Meski tidak absolut, tetapi cukup untuk menjadi tempat pelarian dari sumpek-nya kehidupan nyata. Di sana, siapa pun bisa menjadi siapa saja. Tanpa ada lagi batasan kelas, status sosial, bahkan identitas semu. Namun, kebebasan ini acap kali dimanfaatkan untuk menggiring opini publik. Terlebih saat momen pesta demokrasi.

Di balik layar yang ramai dengan tagar dan komentar yang menggelora, terdapat sosok tak terlihat yang siap bekerja di bawah bayang-bayang: para buzzer. Istilah ini bukanlah hal yang baru dalam dunia perpolitikan saat ini. Sederhananya, tugas mereka layaknya operator yang memproduksi dan menyebarkan konten secara masif. Jelas tujuannya untuk menggiring persepsi publik terhadap isu atau tokoh tertentu.

Pada Kamis (17/07/2025), Yanto (bukan nama sebenarnya) membagikan pengalamannya menjadi buzzer politik saat Pilkada Jakarta yang super panas. Ia bercerita soal sistem kerja yang rapi, upah yang menggiurkan, hingga pergulatan batin dalam dirinya.

Bermula dari Ajakan Teman

Semuanya berawal dari ajakan seorang teman, saat Yanto masih menjadi mahasiswa baru, sekitar tahun 2021. “Awalnya sih cuma dikasih tahu, ada kerjaan freelance gampang. Cuma modal HP sama kuota bisa langsung dapet duit,” ujar Yanto.

Tanpa banyak bertanya, Yanto pun langsung mengiyakan ajakan dari temannya tersebut. Ia lantas disarankan untuk masuk ke dalam sebuah grup WhatsApp. Dari sanalah ia pertama kali mengenal dunia buzzer politik. Grup tersebut ternyata merupakan pusat komando, di mana seluruh “pasukan” diberikan arahan konten, jadwal, dan target postingan di X (dulu Twitter).

Grup tersebut dikendalikan oleh satu akun yang tidak diketahui identitasnya, namun sering kali dipanggil sebagai “Mbak”. Si Mbak ini bertugas sebagai komandan yang mengatur semua alur kerja. Si Mbak inilah yang juga langsung menyalurkan fee ke rekening tiap buzzer setelah postingannya diverifikasi.

“Setiap hari kita dikasih 10 konten, entah itu gambar atau video. Udah lengkap sama caption-nya. Kita bebas milih dari 10 konten itu untuk upload yang mana. Pokoknya 2 konten per hari, pagi dan sore. Nanti setelah upload, tinggal kirim link-nya ke grup buat dicek,” jelas Yanto.

Akan tetapi, sistem demikian tidak sebebas kelihatannya. Jika ketahuan memalsukan atau mengirim link postingan yang bukan milik sendiri, akan langsung dikeluarkan dari grup dan tidak mendapat fee.

Di Balik Layar Buzzer yang Aktif dan Sistematis

Untuk memenuhi target postingan dua kali sehari, Yanto tidak hanya mengandalkan satu akun X. Ia mulai membuat banyak akun anonim atau akun palsu. “Awal-awal karena coba-coba, aku bikin 25, Lama-lama nambah terus sampai 40 akun” ungkap Yanto. Setiap akun memiliki gaya dan persona yang berbeda-beda. Ada yang ia samarkan sebagai mahasiswa, pecinta musik, bahkan akun-akun religius. Semuanya dirancang agar terlihat alami dan tidak terdeteksi sebagai akun buzzer.

Namun, membuat akun dalam jumlah banyak tentu tak mudah. Di media sosial X, setiap pendaftar harus menggunakan nomor telepon untuk verifikasi. Di sinilah Yanto mengalami dilema, karena mau tidak mau ia harus membeli banyak nomor. Karena tidak memiliki cukup dana, Si Mbak menawarkan pinjaman modal yang nantinya akan dilunasi setelah fee dibayarkan. Itu adalah utang pertama yang dibuat Yanto demi pekerjaan yang seharusnya “gampang”.

Fee yang diberikan juga terbilang kecil: seribu rupiah untuk setiap postingan. Tetapi, dengan 40 akun aktif mengunggah dua postingan per hari, penghasilannya bisa mencapai 80 ribu rupiah per hari. “Kalau semua jalan lancar, cairnya lumayan buat ngopi,” ucap Yanto sambil terkekeh.

Menariknya, sistem bonus juga disiapkan. Jika postingan berhasil trending dan mendominasi diskusi, para buzzer berhak mendapatkan bayaran dua kali lipat. Sistem ini sengaja dibuat untuk memotivasi para buzzer agar semakin giat membuat postingan. Karena semakin banyak yang posting, maka semakin besar pula peluang topik itu naik.

Dilema Jadi Seorang Buzzer

Saat ditanya tentang konten macam apa yang biasa Yanto unggah, ia tanpa ragu menjawab kebanyakan kontennya menyangkut situasi politik Jakarta pada masa itu. “Kebanyakan ya soal politik. Terutama waktu itu yang jadi sasaran Anies sama Habib Rizieq,” tutur Yanto.

Isinya? Tak jarang berupa ujaran kebencian, narasi negatif, atau bahkan hoax yang dirancang untuk menjatuhkan citra dua tokoh tersebut. Yanto sendiri mengaku awalnya tidak keberatan, lantaran ia pendukung Ahok. “Kalau yang diserang itu tokoh yang memang aku nggak suka, aku sih oke-oke aja. Kan aku pendukung Ahok,” ujar Yanto.

Namun, seiring waktu, ada perasaan tak nyaman yang muncul di benak Yanto. Terutama ketika ia harus menyebarkan narasi yang tidak benar atau menyerang tokoh yang menurutnya tidak melakukan kesalahan. “Ya, kadang aku ngerasa nggak enak aja. Kalau yang diposting itu nggak bener, terus aku tahu faktanya beda. Itu aku jadi kepikiran,” sambungnya pelan.

Kondisi macam itu menjadi dilema yang mungkin dirasakan juga oleh beberapa buzzer lainnya, khususnya oleh Yanto sendiri. Di satu sisi, mereka bekerja demikian karena butuh aliran dana. Namun, di sisi lain, mereka menyadari bahwa yang dikerjakan mereka bukan sekadar menekan tombol “unggah”, melainkan turut andil dalam membentuk opini publik yang bisa berdampak besar.

Antara Buzzer dan Demokrasi Era Digital

Fenomena buzzer politik menandai perubahan besar dalam berdemokrasi di era digital. Proses komunikasi politik tidak lagi berlangsung satu arah, tetapi justru serupa wahana pertarungan narasi. Sayangnya, narasi yang dibentuk kerap tidak berdasarkan data yang valid. Justru yang terjadi adalah siapa yang paling cepat dan paling masif menyebarkanluaskan opini. Tanpa peduli itu fakta atau bukan.

Yanto, dalam perannya sebagai buzzer, merupakan bagian dari mekanisme ini. Ia bukanlah pengambil keputusan, bukan pula aktor utama. Namun dari akun anonimnya, dari caption yang ia unggah, serta dari tagar yang ia sebarkan, opini publik bisa terbentuk. Dalam konteks inilah, buzzer bukan sekadar “tukang posting”, tapi turut menjadi bagian dari proses demokrasi. Meskipun sering kali didasarkan oleh uang dan kepentingan “elite” semata.

“Aku jadi buzzer sih cuma sampai dua bulan aja. Uang yang kekumpul udah lumayan, habis itu aku “resign”, hahaha.. Capek juga, dan ya… lama-lama risih juga,” tuturnya sambil tertawa.

Di akhir wawancara, Yanto tak ingin menyalahkan siapa pun. Ia hanya berharap masyarakat bisa lebih bijak lagi dalam menyikapi informasi di media sosial. “Nggak semua yang viral itu asli. Kadang ya itu kerjaan buzzer, kayak aku waktu itu,” pungkasnya.

 

Penulis : Alvindest Martial
Editor   : Imam Gazi Al

 

Baca Juga: Bertahan Hidup dengan Menjadi Guru Les Dadakan Untuk Melawan Krisis Ekonomi di Kota Surabaya atau kolom reportase lainnya

Alvindest Martial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *