Ayah Bekerja Sebagai Petani dan Puisi Lainnya Karya Zikri Amanda Hidayat

Ayah Bekerja Sebagai Petani dan Puisi Lainnya Karya Zikri Amanda Hidayat

Ayah Bekerja Sebagai Petani

Ayah menakar nasib dari remang-remang pagi

Melipat pinggang linu dan menyimpannya di lemari umur setengah petang

Lalu ia berangkat menyibak halimun dengan cangkul di pundak

 

Ayah bekerja sebagai petani di sawah dingin yang tergenang air compang-camping

Langkah Ayah tenggelam bersama kepasrahan garis-garis sawah; kadang terasa samar-samar luka

Mimpi keluarga jatuh ke tanah basah harapan

Alir menuju tambak air matanya sendiri

 

Hingga matahari mulai terik menuntun bangau-bangau rindu kubangan

Dan Ayah pulang sembari menyembunyikan lelah dirinya kepada sungai keringat

 

Doa-doa bersemayam pada mata Ibu

Mengusir ragu keruh di mata Ayah

Setia Ibu menyasar cakrawala

Setiap usaha Ayah menyemai buah padi

Hendaknya tumbuh menjadi panen kecukupan

 

Padang, 2025                                 

 

Ibu dan Puasa

Rumah sedang tertidur pulas

Detak jam semalam suntuk meronda sepi

Ibu dengan sepasang tangan mantra memasak harapan kami dan menanak jiwanya sendiri “Ayo, makan, nanti keburu imsak”

Lantas seisi rumah, mata mekar di kelopak kantuk

Menggelar upacara sahur sebelum Tuhan datang membasuh hati kami di sungai subuh

 

Kemudian kami berjalan menuju magrib

Dan di baliknya kutemukan ibu menghidangkan kebaikan ibadah

“Batalkan puasamu segera, Tuhan menunggu”

Demikian mata dahaga tak lagi mengenaliku

Sebab aku telah memiliki tubuh berbuka

 

Padang, 2025

 

Sepasang Mata dan Senyuman

Sepasang matamu adalah mesiu

Butuh satu kedipan sebagai pemantik

Tumpukan kata-kata jerami terbakar

Hangus di dada yang berabad dipanen waktu

 

Senyumanmu adalah bulan sabit

Kilau indah menikam gulita

Membelah haribaan ombak pikiran

Isyarat yang berdesir menyebut namamu

 

Antara keduanya kau menulis sajak rindu

Dan jantungku menafsirkannya dengan degup

Lalu lengan hujan lebih panjang memeluk mataku

Memulangkan senyumku yang telah merantau di kota kemarau

 

Padang, 2025

 

Ayah Pulang dan Ibu Adalah Rumah

Sepulang kerja, setelah ayah mengaitkan jiwanya pada seutas mimpi.

Jantung ayah selalu mencari sepasang mata ibu yang nyala rindu

dan mengeja sengkarut sepi di detak jarum yang menyimpan suara ibu.

 

Sungguh, aku pernah membaca bahwa ayah kerap menulis di punggung jendela:

“Selesai seharian di luar dan mendapati rumah sedang kosong, sesungguhnya aku tak benar-benar pulang. Sebab rumah adalah engkau, bagaimana salam dan senyummu menyambutku.”

 

Sebagaimana tempo hari ayah merapikan kusut asa sembari menaruh linu di pekarangan beranda. Aku menyaksikan cinta bekerja seperti mantra. Ayah di ambang pintu dan di baliknya ada ibu. Di sana, ayah terlahir kembali.

 

Padang, 2025

 

Seusai Bertemu

Kening malam tersisa kecupan senja

Kenang jingganya melekat kentara

Mengenakan pelukan rindu di teras rumah

Sejawat cawan senyum terlalu manis gula

Serupa pungguk menyibak gelap dengan

kepak tak rela

Susah tidur mengekori kepala

 

Sepi tumbuh lebih cepat daripada dini hari

Rawan porak-poranda bertuan pada hati

Ranjang tidur menjelma kolam ikan mimpi

Langit-langit rumah tempat doa menembus

Bima Sakti;

Ruang hampa kembali

Melayang sendiri menanti kekasih

 

Padang, 2025

 

Mati Rasa

Lorong-lorong kepala yang sendat dan lindap

Membudakku tentang cahaya di ujung waktu

 

Tiada siapa pun mendengar bahkan kesunyian

Pada ceruk dada pembuangan mayat harapan

Detak jantungku terkubur bersama tulang belulang senyap

 

Sedang senja merah memakan bulan basi

Lalu mengimani kematian sebagai hidup yang dipenuhi api hitam

 

Padang, 2025

 

Raib

Lantai keramik itu berlumpur

Bercak-bercak memenuhi bagiannya

Tertenteng oleh dingin setapak kaki yang asing

Menuju kamar yang girang karena punya penghuni kecut

 

Di barat sana, tak ada yang tahu ujung samudra

Angin beranjak dari nyiur lambai kepada senja lupa warna

Membangkitkan air laut ke cakrawala

Membawa kabar hujan palung paling duka

 

Bongkahan demi bongkahan pada goa tambang emas dilakukan

Meski meja makan masih terhidang mangkok bundar sumbing samping

Padahal sudah melingkari musim kawin

Namun gempa waktu merenggut pintu masuk; selamanya

 

Sementara jiwa yang rapuh adalah lemari es

Seperti tampak depan berlinang stiker-stiker kekasih

Tapi dipaksa copot hingga membekas morat-marit

Dan dibiarkan seorang diri membeku sepi

Separuh isinya dirampas pergi

Lalu membusuk segala sisa di dalamnya

 

Padang, 2025

 

Baca Juga : Memeluk Binatang Jalang dan Puisi Lainnya Karya Riki Utomi

Zikri Amanda Hidayat

One response to “Ayah Bekerja Sebagai Petani dan Puisi Lainnya Karya Zikri Amanda Hidayat”

  1. […] Baca Juga : Ayah Bekerja Sebagai Petani dan Puisi Lainnya Karya Zikri Amanda Hidayat […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *