Katarak; Nyala Api yang Dipadamkan Abu
Meminjam putih
dari mata yang meleleh basah
di sudut pandang.
Memadamkan api,
bukan angin pun hujan,
tetapi tidak pernah menyala lagi.
Meski netranya sumbu,
tidak ada binar
di dalamnya yang terpatik,
selain kepulan kabur,
seperti yang telah lama
tak pernah ditatapi.
Kini, warna tidak lagi hitam.
Seharusnya mulai berfungsi,
tetapi ia kehilangan penglihatan.
Pada siang dan malam,
tak ada lagi perbedaan
selain dingin dan hangat,
pun enggan menyoroti.
Hangus tak terkira,
hanya abu-abu
yang beranjak pergi,
menjadi yang tidak sama lagi.
Puting Beliung di Sosok Malang
Gulungan syaraf selepas pengar, menghadap
dari untaian lantas yang mengakar di pelipis.
Kepadanya, tegar memberikan lajunya tanpa sukar di pusaran tulang rangka,
menghantam tanya kepada siapa saja dari bibir jawaban.
Asal mula tersisa andai
mendekapkan diri di balik lengan emosi,
hanya saat cara terlihat menggugah pada lapangnya dada.
Di titik penghabisan darah yang bersumpah; jantung sepatutnya tiada,
tetapi seluruh pancaindra menantang gugat segalanya
kepada udara tajam yang dihela—napas tidak perlu.
Puting beliung mengemas waktu,
lalu berseru; sosok malang itu kini mulai menyatu—aku.
Ketenangan Beralih di Keheningan
Ketenangan adalah cara air terjun turun dari ketinggian, menjadi laut pasang pada wajah-wajah yang jenuh curam seharian. Acuh tak acuh, arus sadar dikendalikan penuh agar tidak cukup mampu membahayakan.
Tetapi sebelum percakapan, sesudahnya kepala dihantam hujan, ia berubah menjadi banjir yang kocar-kacir dari dahi hingga hati. Meluluhlantakkan perihal-halnya sendiri. Yang cepat mengungsi, menarik diri dengan menghantam cermin sebagai upaya menolong diri, meraih tempat tinggi; ia berlindung sebelum susulan mendatangi lagi.
Hingga di muara, laut beralih menjadi danau yang kuyup, membasahi tubuhnya dengan cukup. Datar, pucat, dan tertimbun di keheningan.
Viesha Fereggdina
Leave a Reply