Namamu di Halaman Terakhir dan Puisi Lainnya Karya Fida Amarza

Ilustrasi Puisi Namamu di Halaman Terakhir (www.pinterest.com)

Namamu di Halaman Terakhir

aku menulismu
bukan di atas kertas
tapi di dinding dada—
yang setiap malam
digigiti sepi dan adzan pertama.

kau datang dari Timur,
membawa bahasa yang hanya kau pahami,
tapi aku tahu:
matamu bicara
lebih lantang dari seribu kitab tua.

aku menulismu
dengan kata-kata yang kugali dari gurun sahara,
kata yang tak pernah dilahirkan pujangga—
sebab kau bukanlah si Majnun sang legenda.

dan aku,
aku tak ingin menjadi Layla.
aku hanya ingin menjadi wanita biasa,
yang berani menyebut namamu
di halaman terakhir
kitab yang belum tentu kau baca.

Kemah Tak Bernama

kupanggil namanya di ujung sepi,
di antara pasir, di bawah langit nabi.
tapi jawabnya hanya debu dan sunyi,
seolah kisah ini sebatas mimpi.

duhai kekasih yang tak kujamah,
rindu ini laksana musafir gundah.
menanti hujan di padang tandus,
mengharap cinta datang dari dunia yang terputus.

sedangkan rasa ini bukanlah pelita,
ia adalah abu yang bertahan
pada bara yang sulit menyala
di atas kemah tak bernama.

Dua Hati di Gurun

wahai angin yang berhembus dari Barat,
bawakan kabar tentang kekasih dari tanah nan jauh,
di sini aku menatap rembulan,
dengan mata basah, dan rindu tak sembuh.

namanya Ahmed, lelaki di tengah badai
aku Arza, pohon di tengah negeri.
kami dipertemukan oleh takdir samar,
dan dipisah oleh gurun tak bertepi.

di malam pertama kami bersua,
menari di antara bintang—
langit pun bersyair.

tiada yang kami genggam kala itu,
hanya pandang,
dan hati bergetar.

tapi dunia ini bukan milik pecinta,
ia milik sang raja—si mutiara istana.

maka mengembaralah aku menuju Timur,
dengan gores dada, dan sunyi di bibir.
kutulis syair di atas pasir panas,
dan titipan nama di sujud yang lemas.

Baca Juga: Ruang Antri Pasien dan Puisi Lainnya Karya Wayan Esa Bhaskara

Fida Amarza

Fida Amarza

Fida Amarza, lahir di Jakarta, 8 April 2002. Ia adalah seorang penyendiri yang jatuh cinta dengan karya-karya Jane Austen, The Brontë, Franz Kafka, dan William Shakespeare. Dari ruang paling senyap, ia memintal kata demi kata yang dibagikan melalui Instagram @syair.hayat, hingga akhirnya menerbitkan buku pertamanya yang berjudul “Seribu Aksara untuk Lentera Intuisi Malam”. Kata-katanya adalah cara ia menyentuh dunia tanpa menyentuh apa pun. Ia menulis bukan untuk didengar, tapi untuk dikenang—sebab baginya, luka, cinta, dan kehilangan punya bahasa sendiri, dan puisi adalah satu-satunya tempat untuk menampung semuanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *