Namamu di Halaman Terakhir
aku menulismu
bukan di atas kertas
tapi di dinding dada—
yang setiap malam
digigiti sepi dan adzan pertama.
kau datang dari Timur,
membawa bahasa yang hanya kau pahami,
tapi aku tahu:
matamu bicara
lebih lantang dari seribu kitab tua.
aku menulismu
dengan kata-kata yang kugali dari gurun sahara,
kata yang tak pernah dilahirkan pujangga—
sebab kau bukanlah si Majnun sang legenda.
dan aku,
aku tak ingin menjadi Layla.
aku hanya ingin menjadi wanita biasa,
yang berani menyebut namamu
di halaman terakhir
kitab yang belum tentu kau baca.
Kemah Tak Bernama
kupanggil namanya di ujung sepi,
di antara pasir, di bawah langit nabi.
tapi jawabnya hanya debu dan sunyi,
seolah kisah ini sebatas mimpi.
duhai kekasih yang tak kujamah,
rindu ini laksana musafir gundah.
menanti hujan di padang tandus,
mengharap cinta datang dari dunia yang terputus.
sedangkan rasa ini bukanlah pelita,
ia adalah abu yang bertahan
pada bara yang sulit menyala
di atas kemah tak bernama.
Dua Hati di Gurun
wahai angin yang berhembus dari Barat,
bawakan kabar tentang kekasih dari tanah nan jauh,
di sini aku menatap rembulan,
dengan mata basah, dan rindu tak sembuh.
namanya Ahmed, lelaki di tengah badai
aku Arza, pohon di tengah negeri.
kami dipertemukan oleh takdir samar,
dan dipisah oleh gurun tak bertepi.
di malam pertama kami bersua,
menari di antara bintang—
langit pun bersyair.
tiada yang kami genggam kala itu,
hanya pandang,
dan hati bergetar.
tapi dunia ini bukan milik pecinta,
ia milik sang raja—si mutiara istana.
maka mengembaralah aku menuju Timur,
dengan gores dada, dan sunyi di bibir.
kutulis syair di atas pasir panas,
dan titipan nama di sujud yang lemas.