Hujan Tidak Selalu di Bulan Juni dan Puisi Lainnya Karya Lalu Ahmad Albani

Hujan Tidak Selalu di Bulan Juni dan Puisi Lainnya Karya Lalu Ahmad Albani

Hujan Tidak Selalu di Bulan Juni

aku tidak ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan syahadat disaksikan malaikat yang
tidak sempat memberitahu Hawa bahwa
yang merah manis tidak selalu berarti cinta

aku tidak ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isak Adam selepas pembunuhan pertama
Kain & Habel berselisih soal sesembahan bahwa yang
diterima tidak mesti paling banyak jumlahnya.

 

Sound Horeg

kita bercinta di gubuk kecil & gelap
ada sesuatu yang mengintai, barangkali
kematian? tapi ia menggetarkan

headset murahanku tidak kedap suara lagi
setelah mereka berjalan sambil meneriaki
“tabrak!” “rusak!” “bongkar!”

kematiankah? tapi mengapa ia tidak bilang
datang sebelum tanggal merah hari liburku
kini tinggal satu jam sebelum suara-suara itu

memecah keheningan di malam kita bercinta
di gubuk kecil & gelap, sedang dunia sudah
membeli roket untuk ke mars, tapi di sini

suara-suara yang bising itu lebih dicintai
& mudah terbeli dari petasan malam tahun
baru, tepat sebelum aku menyentuhmu.

 

Orang Asing

aku membeli sate ayam langganan
di tengah pusaran kota yang 24/7
tidak mengenal tidur. di sampingku
orang asing itu duduk. bukan, asing
bukan berarti tidak ada yang mengenalnya

tapi asing di sini, ia membelah dirinya
menjadi potongan-potongan cerita,
orang-orang di sekitar tahu betul
siapa namanya, dari mana asalnya
dan bagaimana caranya berjalan

ia berhenti berbagi potongan tubuhnya
ketika ia sampai pada sebuah mitos
ia tidak pernah bertemu dengan bapaknya

sendiri

tidak ada alasan bagiku supaya bertanya
kenapa? bagaimana? apakah bapaknya
sudah meninggal?

tusuk-tusuk sate terus menghujani hatinya
yang setengah hati melanjutkan cerita
sejak kecil, tubuhnya lebih akrab dengan
kesendirian yang martir di tengah kota

debu-debu kota sudah mengasah
dirinya untuk tidak mengemis cinta
dari sesiapa, semisal ia lelah dengan

kesendirian

yang menelan separuh usianya,
masa kecilnya & seorang
bapak yang menjadi mitos.

 

Pagi Hari di Tahun Gelap Sebelum Penjemputan

angin mulai mengunci pintu
padahal subuh masih buram
dari jendela, daun mulai
bangun, menyibak embun
di pipinya

di sisa malam yang mulai
habis, kawanan kelelawar
mulai menyusun kepulangan
tapi ada satu yang tidak kelihatan
nama yang mereka curi

“apakah musti dikembalikan?”

sisa-sisa jelaga pada kaca
uap yang menyisakan kemarin
di sela-sela dinding rumah
dibikinkan kuburan tempat
mengenang, agaknya tenanglah
mereka yang tidak tahu jalan

pulang, sia-sia, seperti
subuh yang tidak juga tiba
lanta pos-pos ronda mulai
sepi, satu per satu doa mulai
berhenti, seperti apa kiranya
pagi yang tidak ada arak-arakan
cahaya, barang separuh

hitam yang tersisa, keruh
di kolong jembatan, kerumunan
payung hitam di hari kamis
buta, siapa gerangan yang
mencuri di tengah malam

pagi hari sebelum penjemputan.

 

Menghitung Sisa Hari Sebelum Tahun Baru

tembok-tembok di kamar
mandimu serupa taman kota

pesing yang kau buang
di hari lalu, berakar serupa

hijau ceceran lumut &
pohon-pohon kenari

dinding-dinding kamar
mandi, purba di punggung

tahun, sisa berapa hari
sebelum 12 bulan berusaha

meminjam sikat gigimu
yang telah meleot, cermin

kerontang, kau menyerahkan
muka basah sepanjang tahun

lampu redup, jala laba-laba
di lain waktu, menjadi

daun-daun kering yang
menyerahkan diri kepada

lantai-lantai basah, atap
yang bocor serta lembab

bau tubuhmu begitu
hampa, serupa tahun

yang habis begitu saja
di mana-mana menjalar

gigil gagang pintu merapal
sisa jumlah hari yang segera

kemarin, kemarin

jejak-jejak
yang mondar-mandir.

 

Baca Juga: Militan Burung Dara Milik Tetangga dan Puisi Lainnya Karya Cahaya Daffa Fuadzen atau kolom puisi lainnya

Lalu Ahmad Albani Atsauri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *