Salsilah
mengenang susah hati patah
ingat zaman berpisah
–Gesang
November, 1945
di antara desah sungai
dan debu meriam
seorang perempuan
dari kota
yang tak disebutkan
berdiri
di utara jembatan:
membaca berita perang
dari sebuah koran
yang terbit
di tahun sebelum negara
pincang
sebab terlampau berat
menanggung utang.
*
tiap magrib menjelang
ia coba panggil nama
seseorang:
“kang ranu, …”
jantung hatinya
yang hilang
dalam perang yang panjang.
ia coba panggil nama
seseorang
seperti memanggil keadilan
bangkit dari kuburan:
sebuah negara
yang dibangun dari tulang
dan jiwa rakyat
yang tak pernah ia beri
penghormatan.
*
setelah hari ke-17 dilipat
dari tanggalan
kota hangus
dan di tubuh kalimas
mayat-mayat dibaringkan
tanpa kafan.
dengan pita di tangan
ia berdiri
di utara jembatan:
belajar membaca tangis
perempuan
yang gugup menyusui
kehilangan.
“kang ranu, …”
ia kembali memanggil
seseorang.
*
Desember, 1945
“salsilah!”
seperti dipanggil
ia tertatih
mendekat ke jembatan
sambil menggendong
bayi rindu
yang tak kunjung bisa
ia tidurkan.
“kang ranu? …”
ia berharap, sosok itu
yang pulang
sebelum sejarah dihapus
dan ia tahu:
justru maut yang datang.
*
sejak itu
ia benci pecindilan
sebab tanahnya terlalu gesit
mengimpit
tubuh ranu, kekasihnya
di antara balok besi
lelehan pelat baja
dan reruntuhan tembok
gudang.
ia benci perang dan negara
yang membusukkan
kenangan
tapi ia, tidak dendam.
*
November, 1975
“salsilah!”
seperti dipanggil
ia tertatih
mendekat ke jembatan
tak lagi menghitung korban
atau memanggil:
“kang ranu, …”
dengan air mata
yang tak bisa dicairkan.
ia hanya mendengar
gesang
bernyanyi dengan
lirik getir yang panjang
dari radio
yang selalu ia gendong
seperti ia
menggendong luka sejarah
yang tak bisa disembuhkan.
2025
Marle
: kugali tubuhku
kucacah seluruh yang batu
sedang di antara yang lunak
kutanam namamu di situ.
marle, perempuanku.
biji rindu yang kukubur
di kepalamu
sudahkah kau jenguk
barang sekali
dalam seminggu?
sebab jarak latah
mengendus letakmu
kuingin telingamu
jadi alat dengarku.
katakan apa pun, marle:
telingamu yang juga
alat dengarku itu
tak mungkin jengah
mengeja suaramu.
marle, perempuanku.
biji waktu yang semayam
di kesepianmu
sudahkah tumbuh
menjelma aku?
: yang gagap mengucap rindu
yang gugup mengecup nama
di nisan di upacara
pemakamanmu.
2021
Sumbi
di tengah dada yang terbakar
kau ingat betapa kau bersukacita
ketika suara derap kakinya
bernafsu menyentuh gubuk
membawa kepal jantung
yang luput kau kenali
warna degupnya.
kau ingat kau lebih begitu sibuk
menumbuk-meramu rempah:
keluak, pala, cengkih, ketumbar.
begitu sibuk berpikir
bagaimana cara
menyulap jantung hasil buruan
agar jadi sajian terlemak
yang bakal bermukim di tubuh kita.
padahal jantung itu, dik
ialah jantung seorang lelaki
yang berdegup-memanggilmu:
“dayang sumbi, dayang sumbi!”
kau cacah berkali, bertubi-tubi.
sementara malam kian pucat
air mulai mendidih di tungku
kau semakin tekun melupakanku.
2020
Leave a Reply