Bercak mirip polkadot warna merah dengan ukuran berbeda seakan mengajakku bicara. Sebesar jempol kaki. Beberapa mirip bulatan kelereng, tetapi oval memanjang melebar ke sisi lain. Di sebelahnya, titik-titik bulat merah mirip deret semut berbaris memanjang. Menyusur di lantai kamar sebelah lemari kayu. Masker di hidung entah kenapa malah kubuka dari aku masuk. Aku tak tahan pengap ruangan. Aroma besi karatan mengambang di udara kamar. Aku mengencangkan sarung tangan karet di tangan.
Beranjak, kulihat ke jendela sebelah kiri. Beberapa benda kental terciprat ke kaca membentuk bulat-bulatan kecil. Mulai mengering. Secara logika, jika pelaku menusukkan korban menggunakan tangan kanan, saat ia berusaha menusuk perut, ayunan cipratannya akan langsung mengenai lemari di sebelah kanan korban. Namun, tak ada noda darah di lemari. Mungkinkah pelakunya kidal? Atau pelaku membersihkan jejak kematiannya? Namun, untuk apa? Ini perampokan. Kulibas satu benda kecil yang menempel itu di jendela. Telunjuk dan jempol kugosokkan bersama. Aroma anyirnya belum terlalu lama. Kemungkinan dia dibunuh sekitar tiga atau empat jam lalu. Sebelum pihak kepolisian datang kemari.
Aku bergeser ke tepi jendela di sisi kamar sebelah kiri yang pecah. Beberapa serpihan kacanya ada yang terinjak sepatu boot-ku. Sisi yang kata istri pemilik rumah, dari sanalah maling itu masuk. Hendak menggasak barang berharga, sekaligus nyawa pemiliknya. Kudongakkan kepala. Lampu putih redup. Kamar aneh dengan tembok warna merah tua. Di sudut pojok, ada lemari kayu warna hitam dua pintu. Beberapa pakaian terburai dengan pintu sebelah terbuka. Beberapa helai ada yang terjatuh di lantai keramiknya yang dingin. Sedingin mayat di sebelahnya yang beberapa menit lalu telah dimasukkan ke kantung mayat, dibawa ke RS untuk otopsi menunggu catatanku selesai. Jika data terkumpul, visum akan segera keluar guna melaporkan penyebab kematian.
Aku mendekat lebih teliti ke tembok samping lemari, kugosokkan ujung kuku jempol ke sana, mencoba mencari petunjuk. Mencuplik dengan cutter. Gompalan sedikit membuat cat lama terlihat. Terlihat warna cokelat muda di bawah warna merah yang baru. Warna cokelat muda yang sebelumnya senada dengan warna kayu jendela di sisi ujung depan dan kiri. Dari sebelah kiri rumah sisi kamar, kulihat perdu nan tinggi di sebelah. Dari rerumputan
tinggi pekarangan yang tak terurus, dari sanalah maling itu masuk. Begitu kronolonginya. Namun, aku masih belum meneliti DNA dari beberapa helai rambut di samping kepala korban. Barangkali bisa jadi petunjuk. Jika saja ayah korban tak menelepon polisi karena kematiannya dirasa janggal, tentu saja kasus ini akan selesai begitu saja. Aku manut saja. Mengikuti alur demi membantu sesama. Sudah jadi kewajiban tim forensik membuka tabir semuanya.
Dari aromanya, cat yang melapisi semua dinding kamar seolah baru beberapa hari dilekatkan ke tembok. Aku tak tahu kenapa. Ketika itu kutanyakan pada istri pemilik rumah, mereka menjawab jika seminggu sebelum bapak meninggal dibunuh maling, ia ingin mengubah suasana kamarnya. Silau kalau warnanya cerah katanya. Begitu yang kudengar dari penjelasan anak lelakinya. Umurnya memang sudah matang, tetapi kutaksir dia belum menikah. Kuperhatikan dari raut wajahnya yang barangkali sudah sering mengalami patah hati ditolak wanita. Ia bilang sedang bekerja malam saat pembunuhan. Ibunya ikut arisan di rumah sepupunya.
“Demi keakuratan data, kami minta Ibu dan anak ibu bersama kami ke kantor. Kami minta data saja. Beberapa tetangga ibu juga telah kami minta keterangan. Mencocokkan semua saksi mata.” Kulihat mata ibu itu sembap. Seolah tak ingin menjawab permohonanku. Mereka berdua manut saja, mengangguk, berjalan keluar kamar menuju depan. Wajah yang lesu itu kulihat masuk mobil di antara tali garis polisi yang melingkar di halaman. Beberapa warga tua muda bahkan anak kecil ada yang penasaran. Melihat rumah yang jadi saksi perampokan dari ujung jalan. Kulihat tatap-tatap bisu nan serius di kejauhan yang kulihat dari kaca jendela.
Aku bergeser ke tepi jendela sebelah kiri yang pecah. Kulihat retakan inci demi inci. Cat warna merah yang baru seminggu. Bentuk retakan kaca yang seolah terpukul dari dalam. Aroma anyir yang masih baru. Pakaian yang berserak di lantai dan seolah saling berpelukan dalam ketakutan. Barang-barang berharga di lemari yang hilang. Aku masih berpikir panjang apakah ini perampokan dan pembunuhan? Atau hanya pembunuhan saja, tanpa bermaksud
merampok.
“Sudah. Ya Pak. Belum saya temukan korelasinya. Iya. Sudah saya cek di pesan WA. Seolah ini memang murni perampokan. Tak ada di sana hal-hal yang mengaitkan dan mengarah ke pembunuhan. Pesannya mungkin sudah dihapus. Bisa saja ‘kan? Ada yang aneh. Setelah saya lihat di WA kolom percakapannya kosong. Nanti kami telusuri lagi. Kata anaknya, ponselnya sering ngadat. Istrinya sering menghapus isi ponselnya entah aplikasi tak berguna atau percakapan yang tak penting demi menghemat memori. Ya. Kami dan tim pulang terakhir. Biar nanti saya yang bedah. Oke.”
Sambungan telepon dari sana dimatikan. Ajudan yang membawa ponselku segera undur diri. Keluar ruangan kamar setelah aku mengangguk terima kasih. Berkali-kali aku mengerutkan dahi setelahnya. Membuka tabir kematian seorang lelaki yang baru berumur setengah abad. Tubuh gembul, kumis putih tipis, tato pedang di punggung tangan kiri, rambut ikal hitam beruban di samping kiri dan kanan telinganya. Dengan raut wajah murka seolah tak terima akan kematian.
Sejam kemudian aku datang ke kantor polisi dan mencoba datang di ruang interogasi. Aku meminta hanya bertiga saja di ruangan itu. Kusuruh orang untuk mengambilkan makanan. Kami bicara santai ke sana ke mari tak tentu arah sambil bercanda. Memancing naluri alamiahnya yang barangkali bisa jadi petunjuk. Namun, seolah memang tak ada sangkut pautnya dengan mereka. Rambut ikal berbeda dengan rambut lurus yang kutemukan di samping mayat. Anak korban juga mengambil minuman dingin di meja dengan tangan kanan. Makin rumit.
Kucoba ia menulis di kertas. Saat itu, barulah anak lelaki di depanku raut wajahnya berubah total. Aku tersenyum. Berkilah hanya ingin meminta nama lengkap ia dan ibunya demi kelengkapan data visum. Kulihat ia berusaha menulis dengan tangan kanan. Acak-acakan. Tak terbaca. Aku bilang tak usah malu jika kidal. Ia mulai menulis dengan tangan kiri namanya dan nama ibunya. Rapi sekali. Aku tersenyum.
***
Kematian selalu jadi akhir yang paling misteri di dunia ini. Aku jadi tahu, kadang keluarga paling dekat jadi pelaku dari takdir itu. Namun, tak ada asap tanpa ada api. Kau tahu, judi daring telah menghancurkan segalanya di negeri ini. Kulihat polisi lamban memberantasnya. Dan kematian pria paruh baya yang baru ku-otopsi kemarin malam, adalah korban sekaligus pelaku. Istrinya kanker kista. Butuh biaya terapi. Saldo ATM anaknya yang seharusnya untuk berobat malam itu, malah kosong untuk pasang judi. Ludes semua.
Dan malam itu, sebuah kamar dirancang untuk membuat diorama perampokan yang aduhai. Sayang, kejahatan selalu menang di awal dan di tengah-tengah. Kebenaran selalu menang di akhir. Esok nanti aku akan bersaksi demi kebenaran di pengadilan. Aku tak ingin lelaki tanggung itu dicap sebagai pelakunya. Ia hanya ingin melakukan apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya untuk keluarga. Aku ingin mayat yang kurang ajar itu yang seharusnya jadi pelaku sebenarnya.
Leave a Reply