Seseorang yang Menyentuh Biji Matamu
tidak ada percakapan seperti hari yang sudah-sudah
dari jendela hujan turun rintik-rintik
sepi menyalibkanmu di palang pintu kamar
kau dirundung rindu paling kepala batu
dan tak sabar ditimpuk waktu yang tampak berlalu
kau ingin segera pulang seperti orang buta di Betsaida
rebah ke tanah setelah sembuh. sembah
Cahaya Maha Cahaya
kau rasakan seseorang menyentuh biji matamu
seperti menghapus sesuatu di situ
di sudut kamar, sebatang lilin masih menyala
kau bertanya dalam doa: apa itu cinta?
di inti hatimu yang berisik ada yang berbisik
“cinta sejati adalah dia yang membalut lukamu dengan tangan
yang berlubang paku.”
tiba-tiba angin mati di sini
sunyi menyalibkanmu di palang pintu kamar sekali lagi
(Ledalero, Februari 2025)
Mimpi Kecil
Aku pernah punya mimpi. Kau bernyanyi
di suatu pagi sambil sesekali baca puisi
tentang kita yang puasa terhadap pelukan dan
aku tertawa
pelukan mengingatkanku pada tubuhmu
rumah dengan banyak jendela dan kurangi masuk angin
aku juga bernyanyi tentang hujan pertama bulan ini dan
kau menangis
hujan mengingatkanmu pada perpisahan paling pahit
bahagia-bahagia yang tidak memiliki warna
yang sudah tak lagi menjadi milik kita
(Januari, 2025)
Musim-musim yang Ingin Melupakan Kita
setelah tak ada lagi percakapan, kau pernah
diam-diam datang
di tempat aku menyemai mimpi-mimpi kecil
yang mulai tumbuh bunga-bunga. Berembun dan merekah
merah seperti warna kesukaanmu di waktu kecil
kau datang disambut hujan yang membenamkan rindumu
ke dalam puisi-puisi
yang sepi setelah melewati kegaduhan kota dan jalan-jalan
yang menghapus namamu
kita tidak bertemu karena alasan-alasan tertentu
kau kesini, aku kesana, kau ada tapi tak mengada
kita pernah begitu dekat sementara rindu tak mau diikat
kau pernah begitu nekat tapi semuanya sudah telat
tidak hanya di kota ini tapi dalam kata-kata dan doa
di situ kau memahami, rindu-rindu yang kubisikan kemarin
di kedua telingamu tidak benar-benar kau dengar
kini kau pergi meninggalkan jejak kaki yang sebentar lagi
dihapus musim-musim yang tak ingin mengingat kita
(Januari, 2025)
Setelah Rabu Abu
Empat puluh hari kemudian ada pantang dan puasa
puisi para nabi membaca suasana hati
di padang gurun hidup adalah musim kemarau
debu jalanan yang lengket pada tubuh
peziarah belajar mati raga dengan tabah
Dalam tubuh tercipta peperangan antara Mesir dan Israel
Musa membelah laut merah dengan tongkat yang tak lekas marah
tentara beserta kuda dan kereta mati dihanyut kenangan
Kanaan membuka jalan lebar-lebar bagi kaki
orang-orang yang berjalan tanpa membawa
masa lalu
Seperti tanda in nomine patris mulai dari dahi
di palang pintu rumah ada darah anak domba jantan
ingatan akan tobat paling ungu
(2023)
Leave a Reply