Bagi sebagian mahasiswa, terutama mahasiswa semester akhir, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu senggang. Lantaran tak harus mengambil banyak mata kuliah, beberapa mahasiswa memilih untuk magang di instansi, mengajar les privat, atau bekerja paruh waktu. Namun, pernahkah ada mahasiswa yang terbesit untuk menjadi terapis anak autis?
Jika mengajar les privat, menjadi barista, atau pramusaji adalah pekerjaan paruh waktu yang lazim saya jumpai di kalangan mahasiswa. Namun, tidak untuk terapis anak autis. Tentunya ini menjadi hal yang menarik, khususnya bagi saya sendiri. Melati (22), bukan nama sebenarnya, menceritakan kepada saya bagaimana pengalamannya menjadi terapis anak autis. Saya menghubunginya melalui saluran telepon WhatsApp pada Jumat (14/3/2025) malam hari WIB.
Merasa gabut dan ingin cari pengalaman baru
Semuanya berawal saat Melati sedang menempuh semester 7, di salah satu kampus Surabaya. Di semester 7, Melati hanya mengambil sedikit sekali mata kuliah, sehingga ia merasa memiliki banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk mencari pengalaman baru. Ia pun menceritakan bagaimana ia bisa dapat informasi mengenai terapis anak autis.
“Aku tau infonya dari status WhatsApp salah seorang dosen. Waktu itu, beliau posting lowongan pekerjaan sebagai terapis atau pengajar anak autis. Karena aku gabut dan nggak banyak ambil matkul, aku coba aja chat nomor di posternya. Aku coba ngelamar di sana,” ujar Melati.
Setelah negosiasi singkat melalui WhatsApp, Melati lantas diterima menjadi terapis anak autis di sebuah lembaga yang berkantor di Gubeng, Surabaya. Ia langsung diberi arahan untuk mengajar seorang anak di sebuah komplek perumahan, daerah Surabaya Barat.
Awalnya ragu-ragu karena minim pengalaman
Pada awalnya, Melati mengaku sempat merasa ragu-ragu. Hal ini dikarenakan minimnya pengalaman dalam mengajar, terutama untuk anak berkebutuhan khusus atau autis.
“Awalnya aku ragu. Soalnya aku minim pengalaman mengajar. Pernah sih, waktu KKN dulu mengajar di SD. Itu pun cuma sebentar. Sama dulu kalau di rumah, aku ngajarin adikku, tapi itu dulu banget,” ungkap Melati.
“Tapi untungnya di sana ada semacam training. Jadi, untuk beberapa waktu, kita diberi pelatihan dulu berupa pengetahuan dasar tentang anak autis dan cara mengajarnya,” sambung Melati.
Meskipun sempat merasa ragu-ragu, Melati tetap merasa antusias. Ia mengaku sangat menggemari dunia anak-anak, serta ini akan menjadi pengalaman pertamanya sebagai seorang terapis anak autis.
Menjadi terapis anak autis tak mengganggu perkuliahan
Bekerja paruh waktu sebagai terapis anak autis, tidak membuat perkuliahan Melati menjadi terganggu. Ia mengaku sudah mempertimbangkan secara matang dan mendiskusikannya dengan pihak lembaga.
“Waktu itu aku ada jadwal mengajar. Kebetulan bentrok dengan kuliah di hari senin. Terus aku tanya ke pihak lembaga terkait itu, ternyata boleh tukar shift dengan partnerku,” tutur Melati.
“Aku di sana berdua sama partnerku. Sistemnya dibagi dua shift. Shift pertama jam 12.00 sampai 13.30. Shift kedua itu jam 14.00 sampai 15.30. Jadi, kalau aku ada keperluan kuliah atau yang lain, tinggal diskusi langsung sama partnerku masalah shiftnya,” sambungnya.
Terapis anak autis perlu telaten dan konsisten
Melati mengaku menjadi terapis atau pengajar anak autis bukanlah pekerjaan yang mudah. Metode pengajaran anak autis berbeda dengan metode pengajaran anak pada umumnya. Diperlukan ketelatenan dan konsistensi agar anak didik dapat memahami pelarajan yang diajarkan.
“Menurutku, jadi terapis anak autis itu perlu telaten dan konsisten. Karena cara mengajarnya berbeda dengan anak-anak lain. Misalnya, pernah suatu ketika pelajaran labeling, si anak didikku tidak tahu yang mana hewan bebek, padahal dia suka sekali makan bebek. Nah, aku harus menyebut hewan bebek berkali-kali, biar si anak ini bisa mengerti. Dan itu bisa sampai berminggu-minggu,” ujar Melati.
“Apalagi si anak didikku ini aktif banget. Kadang dia suka lari-lari, joget-joget. Tapi, sebagai terapis harus bisa menjaga lisan dan sikap. Karena itu bisa kemudian di tiru oleh si anak. Jadi cara memberitahunya harus dengan nada yang lembut, tidak boleh mengumpat atau main fisik,” sambungnya.
Kurikulum dan sistem pengajaran anak autis
Lebih lanjut lagi, saya menanyakan terkait adanya kurikulum pengajaran kepada anak autis. Melati mengungkapkan bahwa memang ada kurikulum tersendiri yang disediakan oleh lembaga. Kurikulum tersebut berbentuk program bertahap pada tiap bulannya. Hal ini tergantung pada perkembangan pengetahuan si anak didik.
“Di lembaga ada kok kurikulumnya. Programnya itu diberikan bertahap tiap bulan. Tergantung progress perkembangan si anak didik. Tiap akhir bulan, terapis wajib memberikan evaluasi perkembangan si anak, untuk disampaikan ke orang tuanya. Kalau pada bulan itu si anak dianggap sudah cukup paham sama materinya, baru bisa lanjut ke materi berikutnya,” ungkap Melati.
Dengan berbekal training dari lembaga, Melati cukup bisa beradaptasi dengan sistem pengajaran untuk anak autis. Terlebih lagi, ia dibantu dengan seorang partner yang telah bertahun-tahun melakoni pekerjaan ini. Jika Melati merasa kebingungan, ia dapat langsung menanyakan kepada sang partner.
Bersyukur menjadi terapis anak autis
Terakhir, Melati mengaku bersyukur menjadi seorang terapis anak autis. Meski dengan segala suka-duka, dari pengalamannya ia bisa memetik pelajaran berharga. Pada akhirnya ia mengerti bahwa menjadi orang tua tidaklah mudah. Ia justru kagum dengan para orang tua yang mendedikasikan diri secara penuh kepada anaknya.
“Selama aku jadi terapis, aku jujur kagum dengan para orang tua yang bisa berdedikasi penuh pada anak. Jadi orang tua itu nggak gampang. Dan peran orang tua itu penting pada pertumbuhan anak. Karena pendidikan pertama itu dari keluarga,” ujar Melati.
Melati lantas menceritakan bagaimana si anak didiknya bisa bersikap sopan kepada dirinya, bahkan Melati merasa sikap si anak didiknya bisa jauh lebih sopan dari anak-anak seusianya yang ia temui.
“Anak didikku ini aktif, tapi sopan. Jadi kalau semisal dia kesulitan buka botol minumnya, dia langsung ngomong minta tolong. Dia bisa begitu itu karena orang tuanya yang ngajarin terus,” sambungnya.
Penulis: Alvindest Martial
Editor: Muhammad Ridhoi
Leave a Reply