Ayah Tidak Mati, Ia Membatu – Cerpen Karya Yuditeha

Ayah Tidak Mati, Ia Membatu – Cerpen Karya Yuditeha

Pagi di Desa Seroja datang seperti biasa, lamban, sedikit berdebu, dan terlalu tenang untuk disebut hidup. Kabut tipis menggantung di kebun-kebun palawija yang belum sempat disiram, menutupi bau tanah basah sisa malam. Seekor ayam jantan di ujung gang berkokok dengan nada pesimis, seolah tahu tidak ada yang benar-benar berubah di desa itu sejak sepuluh tahun lalu, atau bahkan sejak Tuhan menciptakan batu pertama.

Lalu muncullah Nadira. Ia berjalan mengenakan sweater tua warna abu-abu yang seperti selalu tampak basah, meski tak pernah hujan. Rambutnya dikuncir malas, sepatu kanvasnya penuh lumpur, dan ransel bututnya seolah menyimpan sesuatu yang lebih berat dari sekadar buku catatan atau air minum. Setiap langkahnya menimbulkan bunyi kecil, keresek-keresek, seperti desahan orang tua yang lelah menggerutu, tapi tak bisa berhenti.

“Masih suka main ke sini, Ra?” tanya Pak Sarman, penjaga makam yang kini tinggal sendiri di gubuk ujung pemakaman. Suaranya serak, seperti baru saja menelan abu rokok tiga batang.

“Masih. Biar ingat rumah,” jawab Nadira, tanpa menoleh.

Pak Sarman tidak bertanya rumah yang mana. Semua orang tahu Nadira tidak pernah benar-benar punya rumah. Ia tinggal di rumah masa lalu, yang hanya ada di kepalanya, tersusun dari puing-puing kenangan, dan dilapisi debu dendam tipis.

Makam ibunya ada di bawah pohon jambu biji, berdampingan dengan dua pusara lain yang sudah tidak punya nama. Di batu nisan ibunya, tertulis rapi: Artini — Perempuan yang Selalu Diam.

“Nisan yang absurd,” keluh Nadira suatu waktu. “Diam bukan prestasi.”

Tapi Darto, ayah Nadira, yang menuliskan itu. Dan semua orang tahu, jika ada hal yang membuat Darto bangga adalah diamnya istrinya. Diam ketika dituduh selingkuh, ketika dipukul, ketika akhirnya diusir dari rumah, hanya membawa kantong plastik berisi beberapa baju dan satu kaleng bekas cat.

Artini meninggal dua hari kemudian. Terjatuh dari tebing, kata berita. Bunuh diri, bisik tetangga. Kecelakaan, kata polisi. Tapi Nadira tahu, bukan itu semua. Bukan juga takdir. Itu cuma rasa jemu yang menemukan bentuk konkret. Dan jemu itu, pikir Nadira, mungkin berasal dari tempat yang sama dengan suara ayahnya, keras, lambat, dan selalu menekan, seperti batu yang terlalu lama menahan hujan.

Pukul 10 pagi. Matahari mulai gatal menampar pipi, dan suara truk pasir di kejauhan menggeram seperti binatang lapar. Nadira duduk di atas makam ibunya sambil membuka termos kecil. Ia menuang kopi hitam dan meletakkannya di atas nisan.

“Kita bagi separuh, Bu,” katanya pelan. “Separuh untukmu, separuh untuk batu.”

Batu yang ia maksud berdiri setinggi lutut, sekitar dua meter dari nisan. Bukan batu asli, itu patung. Dikerjakan diam-diam oleh Nadira selama dua tahun terakhir. Ia belajar memahat dari internet, mencuri semen dari proyek jalan desa, dan mencampur pasir sendiri di rumah kontrakan yang bahkan tikus enggan singgah. Patung itu menyerupai seorang lelaki tua dengan wajah lelah tapi keras. Sangat mirip Darto, ayahnya, sebelum lelaki itu menghilang dari peta dan dari semua buku keluarga.

“Dia tidak meninggal, Bu,” gumamnya, sambil menatap patung itu. “Dia cuma membatu. Batu lebih keras dari kematian.”

Tahun lalu, Nadira datang ke balai desa. Ia menuntut agar nama ayahnya dihapus dari Kartu Keluarga. Petugas catatan sipil, seorang wanita dengan eyeliner terlalu tebal dan senyum seperti plastik terbakar, menolak dengan sopan.

“Tidak bisa, Mbak. Harus ada surat kematian atau surat kehilangan. Kalau menghilang tapi tidak ada bukti, statusnya tetap hidup.”

“Boleh saya laporkan sebagai benda?” tanya Nadira. “Mungkin lebih cepat prosesnya kalau dia dianggap pot bunga.”

Petugas itu tertawa canggung. Nadira tidak ikut tertawa.

Sore di Desa Seroja datang lebih cepat dari yang seharusnya. Langit memerah seperti luka terbuka, dan suara azan terdengar malas, seperti dilafalkan dari tenggorokan yang enggan. Nadira masih di makam. Ia menatap langit, lalu menoleh ke patung.

“Besok aku akan ke kota,” katanya. “Aku akan bawa suratmu ke media. Biar semua orang tahu, kalau kau cuma manusia biasa yang gagal jadi Tuhan di rumah sendiri.”

Angin mendesis, pohon jambu menjatuhkan satu buah tepat ke atas makam. Nadira mengambilnya dan menggigit. Masam. Persis seperti masa kecilnya.

Malam datang. Lampu-lampu jalan menyala setengah mati, dan suara jangkrik bersahutan seperti sedang rapat RT. Nadira masih duduk di sana, menyender di patung ayahnya. Di dalam tas, ada satu botol kecil berisi cairan bening. Bukan air. Ia tidak sudi mengakhiri malam dengan air. Terlalu suci.

Tapi sebelum ia sempat membuka botol itu, seseorang datang. Langkah kaki ringan. Suara gemerisik. Lalu muncul lelaki muda, kira-kira dua puluh lima tahun, dengan jaket kulit dan rambut gondrong yang membuatnya tampak seperti gitaris band yang gagal manggung.

“Kau Nadira?” tanyanya.

“Kau pikir siapa? Marilyn Monroe?”

Lelaki itu tertawa kecil. “Aku anaknya Pak Darto.”

Hening. Lebih sunyi dari malam yang kehilangan angin.

“Anak dari siapa?” tanya Nadira.

“Dari istri keduanya. Setelah ayahmu meninggalkan kalian. Kami tinggal di Batang. Tapi kemarin dia meninggal.”

Nadira diam. Lalu tertawa kecil. Tawa yang tidak sehat. Tawa itu seperti pecahan kaca yang dilempar ke dinding sunyi. Bukan karena lucu, tapi karena akhirnya batu itu pecah juga. “Kubilang apa, dia pasti tidak tahan jadi batu selamanya.”

Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah foto tua. Darto sedang duduk di bangku taman, tersenyum tipis. Di sampingnya ada perempuan muda dengan wajah lelah dan bayi dalam gendongan.

“Dia menyuruhku mencari kakakku. Katanya, kau harus tahu sesuatu,” ucap lelaki itu.

“Ayah selalu merasa bersalah. Dia tahu dia menghancurkan ibumu. Tapi, dia juga menyimpan semua surat dari ibumu. Dulu ibumu masih sering mengirimkan surat, bahkan setelah diusir.”

Nadira menatap foto itu. Tiba-tiba patung di belakangnya terasa lebih dingin, lebih asing. “Surat?”

“Iya. Semua masih disimpan. Bahkan yang ditulis dengan darah.”

Hening lagi. Lelaki itu menatapnya, berharap sesuatu. Tapi Nadira justru berdiri, mengibaskan sweaternya, dan menatap patung itu untuk terakhir kalinya. “Kalau begitu, tidak salah ia membatu.”

Lelaki itu buru-buru menyerahkan amplop berisi tiga lembar surat, sudah menguning, bagian pinggirnya mulai tergerus waktu. “Kau bisa baca kalau mau. Tapi dia tak pernah membalas,” katanya.

Nadira tidak segera mengambilnya. Ia hanya menatap amplop itu seperti menatap barang curian, akrab tapi menyebalkan. “Kenapa kau repot-repot ke sini?” tanyanya akhirnya.

“Karena aku tahu, kalau seseorang membuat patung seperti itu, pasti ada luka yang belum selesai. Dan mungkin juga belum mau selesai.”

Nadira tertawa pendek. “Kau anak yang baik. Sayang. Aku sudah tak tertarik jadi tokoh dalam cerita pengampunan.”

Ia berdiri, mengangkat ranselnya, dan menepuk-nepuk debu dari bokong celana. Lelaki itu masih berdiri canggung, memegang amplop yang kini makin terasa berat. Sebelum pergi, Nadira menoleh sebentar ke arah patung. “Ayahmu, ayahku, mungkin lebih cocok jadi batu nisan daripada patung. Setidaknya nisan tahu caranya diam tanpa menyuruh orang lain ikut diam.”

Lelaki itu tidak menjawab. Ia hanya meletakkan amplop itu di atas pangkuan patung, seperti mempersembahkan bukti terakhir dari sebuah perkara lama yang tak akan pernah disidangkan. Nadira berjalan pergi, langkahnya pelan, tapi mantap, seperti orang yang akhirnya memilih keluar dari museum karena bosan melihat artefak yang sama. Pikir Nadira, menjadi batu bukan kutukan. Mungkin itu cuma bentuk paling jujur dari seseorang yang tak tahu cara menjadi manusia.

Dua hari kemudian, patung itu menghilang. Tidak dirusak, dicuri ataupun dibongkar. Hanya lenyap. Di tempatnya, tinggal secarik kertas kecil bertuliskan: Batu pindah ke alamat baru. Pak Sarman membaca itu sambil menggaruk kepala. “Anak zaman sekarang, aneh-aneh.”***

 

Baca Juga : Jawil ingin Tidur Selamanya – Cerpen Karya Yuditeha atau kolom sastra lainnya

Yuditeha

One response to “Ayah Tidak Mati, Ia Membatu – Cerpen Karya Yuditeha”

  1. […] Juga : Ayah Tidak Mati, Ia Membatu – Cerpen Karya Yuditeha atau kolom sastra […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *