Gerimis turun dengan malas. Langit tampak ragu-ragu, seakan sedang mempertimbangkan apakah layak mencurahkan seluruh kesedihan ke kota ini, atau cukup memberi bocoran kecil, seperti spoiler film yang spontan datang.
Di halte kecil dekat perempatan Kota Kuning, Ranu duduk dengan posisi miring, lututnya bersentuhan dengan tas ransel bolong. Robekannya menggantung seperti lidah anjing yang menjulur. Hujan menyentuh ujung sepatunya, lalu merembes perlahan, menyusup ke kaus kaki yang mulai sesak napas.
Dia menunggu. Bukan bus. Bukan ojek online. Tapi perempuan bernama Eda. Ya, Eda yang tak pernah tepat waktu. Eda yang suka menyebut dirinya pengabdi insting. Eda yang percaya bahwa cinta tak bisa dijadwal, tapi bisa datang kalau suasana cocok dan kopi tidak terlalu pahit.
Ketika akhirnya datang, seperti biasa, payung dibiarkan terbuka walau gerimis sudah malas, rambutnya acak-acakan seperti bekas tersapu angin ribut, dan tangan membawa sesuatu yang entah hal penting atau hanya simbol kebingungan.
“Maaf ya, aku tadi ngobrol sama diri sendiri,” kata Eda ringan.
“Menang?” tanya Ranu sambil berdiri.
“Seri.”
Hujan tiba-tiba kembali deras. Gegas mereka berlari ke warung kopi yang tidak dikenal selain orang-orang pengangguran bertubuh sarkastik. Tempat itu dulu pernah akrab, tidak punya nama. Di dindingnya ada tulisan: Kami menyeduh, kalian bertanggung jawab atas hidup masing-masing.
Di dalam warung, aroma kopi menyatu dengan bunyi hujan yang menabrak atap seng. Ranu memesan kopi hitam. Eda minta teh tarik. Ranu mengingatkan di situ tak ada teh tarik.
“Kalau nggak ada, tarik aja aku,” candanya.
“Kalau kutarik, jangan salahkan aku kalau kamu jatuh lagi,” balas Ranu, datar.
Obrolan mereka seperti tali sepatu kusut. Kadang tentang cuaca, tentang kemungkinan terjadinya kudeta, tentang seseorang yang mereka tidak sebut namanya tapi keduanya tahu siapa.
“Aku tadi liat kamu di cermin,” kata Eda pelan.
“Lucu juga, padahal aku sedang tidak berdiri di depannya.”
“Kamu berdiri di belakangku. Di pikiran.”
Ada jeda aneh. Seperti menunggu sinyal 4G yang hanya bisa kuat kalau ponsel ditaruh di atas kulkas.
“Kamu masih inget yang dulu?” tanya Ranu akhirnya.
“Yang mana?”
“Di kamar kost itu. Kamu bilang lebih suka sendal jepit ketimbang sepatu pantofel karena sendal jepit lebih jujur. Kalau nggak cocok, ya putus aja.”
Eda tertawa. “Gila, kamu masih inget. Aku bahkan udah lupa bentuk kamarnya.”
“Karena aku ngelapin air matamu di lantainya.”
Eda menunduk. Mungkin bukan malu. Mungkin karena takut menemukan mata Ranu masih di tempat sama, satu sentimeter dari luka. Sementara Eda, entah sudah berapa kilometer jauhnya.
Di luar, gerimis berubah jadi semacam kabut samar. Kota ini memang suka menyamar jadi sesuatu yang lain. Kadang pura-pura sibuk, kadang pura-pura punya masa depan.
“Kamu tahu kenapa aku ngajak ketemu?” tanya Eda setelah mengaduk teh yang tak benar-benar ada.
“Karena kamu bosan sendiri?”
“Bukan. Karena aku baru nyadar. Kita kayak file yang pernah di-delete, tapi belum sempat dikosongin dari Recycle Bin.”
“Kamu pengen restore?”
“Nggak juga. Cuma mau lihat, apakah isinya masih bikin sesak.”
“Dan?”
“Masih. Tapi bukan karena isinya. Karena aku lupa kenapa aku simpan file itu.”
Senyap lagi.
Lalu datang pelayan, menawarkan gorengan seolah hal itu solusi semua masalah. Ranu mengambil bakwan, lalu menawari Eda.
Eda menolak. “Masih suka nulis puisi?” tanya Eda kemudian.
“Nggak. Sekarang aku lebih suka nulis memo pengeluaran,” jawab Ranu.
“Lagi-lagi hal yang lebih jujur ya?”
“Bukan. Lebih menyakitkan.”
Jam di warung itu tak pernah bergerak. Jarumnya diam di pukul 3:17 sejak gempa 2019. Mereka sempat berdebat, apakah itu pertanda waktu macet, atau hanya metafora murah tentang cinta yang tertinggal.
“Ranu, kamu tahu, aku selalu mikir kita akan saling jatuh lagi,” kata Eda tiba-tiba.
“Lalu kenapa nggak?”
“Karena kita terlalu sadar kalau kita cuma jatuh, bukan bangun.”
Eda menatap Ranu lama. Tatapan yang tidak minta balasan, hanya verifikasi. Ranu tidak merespons. Ia hanya mengusap bibir cangkirnya yang retak. Retaknya ada di titik yang sama seperti hatinya, hampir tidak terlihat, tapi jika disentuh terasa perih. Mereka berdiri hampir bersamaan. Di luar hujan sudah benar-benar pergi.
“Kamu mau aku antar?” tawar Ranu.
“Enggak. Aku mau jalan. Kadang, yang kubutuhkan cuma punggung yang tak bicara.”
“Punggungmu sendiri?”
“Bisa. Bisa juga punggungmu.”
“Jadi kau ke sini cuma buat duduk di seberangku dan menyebut ulang nama warung ini?” tanya Ranu, setengah tertawa, setengah menahan marah yang bahkan dia sendiri tak tahu asalnya dari mana.
Eda menyibak rambutnya. “Aku ke sini untuk memastikan bahwa kamu bukan fiksi. Bahwa yang ada memang benar-benar pernah terjadi.”
“Fiksi? Kalau kamu bikin kisah jadi novel, pasti bakal ditolak editor. Klisenya keterlaluan,” sahut Ranu.
“Atau justru laku keras. Kan orang suka kisah gagal yang terasa manis.” Eda menatap gelasnya. “Kamu tahu, selama ini kukira aku yang paling terluka.”
“Lalu sekarang kamu sadar bahwa kamu apa? Salah?” tanya Ranu.
“Enggak. Aku cuma sadar bahwa luka itu lucu. Kita pikir dia tinggal di kulit, padahal dia diam-diam ngopi tiap malam di ruang tamu di tubuh kita.”
Ranu tak langsung menanggapi. Sejenak ia menatap gagang sendok dalam cangkirnya. Lalu ia berkata, “Kalau saja kita bisa mengulang dari nol.”
Eda tersenyum getir. “Sayangnya kita bukan meteran listrik.” Eda lantas pergi dengan langkah pelan.
Ranu tidak mengikuti. Ia duduk lagi, melihat kursi kosong di depannya. Tak lama, perempuan lain masuk. Rambutnya basah. Tatapannya ringan. Ia duduk begitu saja di kursi Eda barusan. “Masih ada kopi?” tanyanya kemudian.
“Masih,” jawab Ranu.
Perempuan itu tersenyum.
“Lucu ya. Aku baru saja putus. Dan entah kenapa pengen duduk di sini.”
“Karena kamu suka daerah patah?”
“Bisa jadi. Tapi mungkin karena kamu mirip seseorang.”
Mereka tertawa kecil.
“Aku belum pesan,” kata perempuan itu sambil menaruh tas selempangnya.
“Di sini nggak ada menu. Cuma dua pilihan: kopi yang terlalu pahit atau obrolan yang terlalu manis.”
“Terdengar seperti hidup.” Ia menatap Ranu tanpa basa-basi. “Kamu sering ke sini?”
“Hanya saat aku merasa terlalu waras.”
Perempuan itu tertawa. “Berarti ini tempat yang berbahaya.”
“Atau tempat aman untuk orang-orang yang sedang menunggu lupa.”
“Kamu sedang menunggu siapa?”
“Mungkin seseorang yang duduk di sini tadi. Atau seseorang yang belum tahu akan duduk di sini.”
Perempuan itu mengangguk pelan, lalu melihat sekeliling. “Tempat ini terasa seperti sedang mimpi,” katanya kemudian.
“Atau mimpi yang nggak bisa bangun,” sahut Ranu lalu menyodorkan sisa kopinya. “Mau coba?”
Perempuan itu menatap cangkir, lalu senyumnya tipis. “Kalau aku mimpi, aku ingin mimpi yang pahit saja. Karena yang manis biasanya bikin kecewa waktu bangun.”
“Aku semakin yakin, kamu suka posisi satu sentimeter dari luka,” sahut Ranu.
Senja tiba tanpa aba-aba. Kota akan kembali remang. Bukan tentang lukisan. Perempuan itu rupanya sama dengan Eda, itu terlihat belum selesai.***
Baca Juga : Sucipto – Cerpen Diana Rustam atau kolom sastra lainnya
Leave a Reply