Sebagai warga kabupaten yang memutuskan untuk merantau di Kota Pahlawan, culture shock menjadi ujian pertama saya, untuk membuktikan kemampuan adaptasi seseorang. Hal ini pula acap kali menjadi topik obrolan wajib, ketika saya menjumpai seorang yang juga merantau di Surabaya.
Rabu (5/3/2025) dini hari WIB, saya singgah di sebuah kos-kosan seorang kawan, sesama mahasiswa perantau di Jalan Nginden Semolo, Surabaya. Kedatangan saya atas dasar memenuhi ajakan untuk nonton bareng pertandingan klub kebanggaan, Real Madrid, yang akan berlaga di perhelatan Liga Champions. Niat awal hanya ingin nobar, ternyata malah berujung pada ajang sharing pengalaman sebagai sesama warga kabupaten yang tinggal di tanah perantauan.
Seusai menonton pertandingan, saya melontarkan pertanyaan pada Markus (23), bukan nama sebenarnya, terkait ada-tidaknya culture shock yang pernah ia rasakan ketika pertama kali menjejakkan kaki di Surabaya. Sebagai orang yang lahir dan besar di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Markus mengakui ada banyak sekali perbedaan yang ia rasakan ketika datang di Pulau Jawa, terutama di Surabaya.
Masuk kuliah jalur keberuntungan
Markus pun menceritakan bagaimana ia akhirnya memutuskan untuk kuliah di Surabaya ketimbang di NTT, kampung halamannya. Setamat SMA di tahun 2020, ia belum terpikirkan untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Namun, atas saran dari orangtuanya, ia akhirnya memutuskan untuk ikut tes mandiri di Universitas Airlangga tahun 2021.
“Rata-rata anak di kampungku itu tidak ada yang tahu Unair. Aku daftar di Unair itu ya karena disuruh bapakku. Bapakku kan pernah tinggal lama di Jawa. Terus aku disuruh daftar saja di Unair. Katanya Unair itu bagus,” tutur Markus.
Dengan hanya modal nekat dan berkat support dari orang tua, ternyata ia dinyatakan lolos dan diterima di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga. “Aku awalnya bingung waktu milih jurusan karena tidak ada rencana. Terus aku lihat ada jurusan Sasindo, ya sudah aku pilih saja itu. Eh, kok lolos ternyata,” imbuh Markus sambil tertawa.
Niat ingin ramah, sering kali dikira aneh
Sebagai pendatang, membuat Markus merasa harus bersikap ramah kepada semua orang. Ia mengakui di masa awal menjejakkan kaki di Surabaya, ia selalu menyapa dan tersenyum jika berpapasan dengan bapak-bapak atau ibu-ibu di jalan. Namun, sikap ramahnya tersebut justru sering kali tidak mendapat respon baik. Seakan ia dianggap aneh.
“Waktu awal-awal datang dan kos di dekat kampus, aku kalau ketemu orang di jalan selalu senyum. Tapi banyak yang cuek. Semenjak itu aku kalau ketemu orang diam-diam saja. Tidak pernah senyum lagi, mungkin cuma sekedar nyapa saja” ujar Markus dengan nada sedikit kesal.
Berangkat dari pengalaman dicuekin tersebut, pada akhirnya Markus mengerti mengapa banyak orang yang ia temui dianggapnya tidak menghargai keramah-tamahan. “Mungkin orang-orang takut kalau sama orang yang tidak kenal, kan banyak kasus kriminal, entah dibegal atau yang lainnya,” imbuhnya.
Sulit beradaptasi dengan sistem perkuliahan
Markus beranggapan ternyata kuliah di Unair tak semudah yang ia bayangkan. Bahkan, di awal perkuliahan, ia sempat insecure dengan teman-teman di jurusannya. Markus merasa sistem belajar-mengajar di kelas perkuliahan sangat kontras berbeda dengan pengalamannya ketika bersekolah di kampung halamannya.
“Aku merasa minder kalau di kelas, teman-teman pintar sekali,” kata Markus.
Mendengar ucapan Markus tersebut, lantas membuat saya kepo dengan istilah “pintar” yang dipakainya. Pintar itu yang seperti apa?
“Ya, pintar. Kayak selalu aktif di kelas, kalau dosen ada tanya-tanya itu selalu bisa jawab, dan berani tanya kalau ada pelajaran yang belum dimengerti. Kalau di sekolahku dulu tidak pernah ada yang seperti itu,” ungkap Markus.
Markus menjelaskan bagaimana pengalaman semasa ia sekolah dulu. Murid-murid di sekolahnya, termasuk Markus, seakan tidak pernah diberikan hak untuk berpendapat. Bahkan bertanya pun tidak berani, apalagi menyanggah pernyataan dari para guru.
“Guru itu orang yang paling ditakuti di sekolah. Sekali kau berani jawab ketika guru omong, habis kau kena pukul pasti. Karena kalau ada yang berpendapat itu dianggapnya tidak sopan,” imbuhnya.
Melihat sistem belajar-mengajar di dunia perkuliahan yang demikian, Markus merasa kesulitan untuk beradaptasi. Pada akhirnya, jika ada dosen yang terkenal sering bertanya, atau hanya ada sedikit mahasiswa di kelas, ia lebih memilih untuk menghindar dengan membolos, daripada harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari para dosen. Hal ini membuatnya sering mengulang mata kuliah, dikarenakan presensi yang sering tidak memenuhi standar.
Kerja kelompok seperti kerja individu
Bentuk culture shock lain yang Markus alami adalah saat adanya tugas kelompok di suatu mata kuliah. Menurutnya, kerja kelompok semasa di perkuliahan itu sama saja seperti tugas individu, tapi bedanya dikumpulkan jadi satu.
“Yang bikin aku heran itu kalau ada kerja kelompok, kita langsung bagi tugas begitu saja, jarang ada diskusi kelompok,” ungkap Markus.
“Kalau kita di timur itu dulu tidak seperti itu. Kalau semisal ada tugas kelompok, kita benar-benar mengerjakan sama-sama di satu tempat. Jadi, disana kita saling adu pendapat buat cari kesepakatan. Baru kalau semua anggota kelompok sepakat, kita tulis,” imbuh Markus.
Penulis: Alvindest Martial
Editor: Muhammad Ridhoi
Leave a Reply