Doa-Doa yang Menghitung Diri Sendiri dan Puisi Lainnya Karya Palito

Doa-Doa yang Menghitung Diri Sendiri dan Puisi Lainnya Karya Palito

Doa-Doa yang Menghitung Diri Sendiri

Aku di tepi tubuhmu,

garis bibirmu—perbatasan

antara dunia yang pernah ada

& dunia yang ditinggalkan waktu.

Segala yang jatuh ke lubang-lubang itu

menjadi bayang-bayang yang tak pernah

selesai diceritakan.

 

Pakaian yang kupakai bukan milikku,

tapi milik orang mati,

huruf-huruf tebal yang tercekik,

di tumpukan fosil,

berjatuhan dari langit

yang memuntahkan kata-kata

tak terbaca,

seperti darah yang hilang di sepi.

 

Di tubuh ini, doa-doa menggigil,

membakar diri di dalam cerita

yang tak pernah selesai dibungkus

sejarah.

Ayat-ayat diam di dalam kita—

tak lagi dipahami,

hanya pengharapan yang terkubur

di ujung bahasa.

 

Kisah kita tertulis dalam perpisahan,

di sungai yang mengalirkan tubuh

ke kegelapan yang tak punya dasar.

Segala yang jatuh tak pernah kembali,

seperti suara yang memekakkan telinga

di dalam diam.

 

Bumi ini panggung sandiwara

tanpa penonton.

Orang-orang menari tanpa kaki,

menghitung koin yang hilang

di malam yang tak selesai,

seperti janji terkubur sebelum lahir.

 

Segala yang jatuh hanya menjadi debu,

mencatat dirinya sendiri di langit—

tak ada tangan yang menghapus,

tak ada mulut yang mengucap.

Hanya jarak yang kian memanjang

seperti cinta yang tak pernah cukup disebut.

 

2022-2025

 

Karnaval Kesadaran

Namaku hilang dalam bola api

yang terbang mundur,

lidah langit meleleh di atas trotoar

yang menelan aspal,

seperti percakapan yang terhenti seabad,

tapi aku tetap di sini, dalam hujan yang

jatuh terbalik, membawa serpihan waktu

yang terpecah.

 

Waktu tumbuh jadi jamur di sela

realitas,

tangan-tangan manusia mencakar langit,

mencabik batas-batas yang diciptakan

untuk menahan mimpi,

sementara air terjun lompat tali ke kaca spion,

boneka kehilangan benangnya,

berharap hujan menyalakan

harapan yang tersembunyi di abu dunia

yang tak lagi utuh.

 

Kran kesadaran diserbu parade

kuda-kuda berkaki lima,

kesadaran berlari memecah jendela sirkus

penglihatan,

menjerit kebenaran yang terabaikan,

es itu berteriak sambil meremukkan suara,

pohon-pohon menjerit cabangnya,

sementara jam pasir merintih,

& kucing menulis puisi yang ditranskrip

oleh tangan yang pernah ada,

menulis di atas debu yang hilang sebelum

sempat mengendap.

 

Bulan terjebak dalam kardus sosis bekas,

menyimpan kenangan yang dipaksa terlupakan,

seperti mimpi yang tak pernah tuntas,

kemudian jatuh, menendang planet merah,

menyebar warna ungu seperti cat air di laut

yang kebingungannya mengalir balik ke

daratan, mencari arti yang terbuang.

 

Di antara itu, jejak kaki manusia dipanggang

dalam oven waktu terlalu lama,

bulan memuntahkan bintang-bintang,

keabadian terbalik seperti mobil yang

tumpah bensin ke langit,

ikan-ikan main skateboard di udara,

terseret gravitasi yang memutuskan

kontak hidup,

& dunia hanya puisi kosong,

dibaca kucing langit yang

bermimpi mengejar angin,

mengejar bayangan yang hilang

dalam kegelapan,

sementara aku terjebak dalam bola api,

menghitung detik yang terjatuh di langit.

 

2025

 

Telanjang di Panggung Realitas

Gerbang itu tubuh yang melengkung, menyeringai,

seperti tahu setiap rahasia yang disembunyikan

di baliknya.

Lampu neon biru & merah muda berkedip

di atasnya,

seperti mata robot yang kelelahan,

“Masuklah, tinggalkan kewarasan di luar.”

 

Di dalam, balon-balon liar meledak di udara,

memakai sepatu yang berdebat

tentang siapa yang lebih bebas.

Di bawahnya,

tubuh-tubuh bertukar rupa di tengah jalan,

tangan melompat,

memetik jiwa seperti buah matang yang

menggantung

di ranting udara.

Hati diletakkan di etalase toko

dengan tulisan diskon akhir pekan,

konsumen baru,

identitas terjual—

apakah ini aku atau hanya bayanganku?

 

Di perut kota yang berdetak

seperti jantung mesin tua,

percakapan berisik meluncur

seperti bayang-bayang

di lorong sempit yang selalu kosong,

seperti pakaian yang dilepas dan diganti—

waktu berlarian, terlambat di setiap sudut,

di pojok yang lain, tak mungkin mereka

mengaku Tuhan,

yang gagal ujian praktek,

menguji diri dalam kotak cermin

yang berubah-ubah.

 

Sementara itu, di kepala,

langit yang tegang berubah menjadi ungu cerah,

meleleh seperti cat yang mengalir di kanvas,

berwarna mint dan oranye pastel,

berputar pelan,

menyapu debu kesia-siaan,

waktu mengendur, menjadi abu yang mengapung,

& tiap napas membawa warna cemas

yang lebih dalam.

 

Lalu, di jurang pelipisan tawa,

kebibir-bibiran itu muncul,

mengenakan gaun dari koran gosip

dari potongan pelangi,

membentuk kalimat dari keinginan—

memeluk pinggangnya,

memegang tongkat selfie

dengan kepala manekin di ujungnya,

seolah mencari identitas yang hilang.

 

Ia menari,

melompati pagar moralitas,

mengotori patung kehormatan,

dan berteriak,

“Ini tubuhku—aku akan jadi apa saja!”

Menciptakan diri di setiap klik dan sentuhan,

dalam dunia yang bisa dipalsukan,

dimiliki, dibuang,

di bawah langit yang telah meleleh.

 

2025

 

Perjalanan yang Tak Punya Kompas

Mimpi menari di kepala,

seperti belalang belajar waltz,

layu saat tahun uzur menghantam.

Ledakan tanpa kata.

Malam-malam membosankan melipat diri

bersembunyi di bawah bulu matamu.

 

Mereka berkelana—

mengembara di rentang waktu tanpa kompas,

seperti jam yang diputar oleh tangan buta,

menentukan arah tanpa tahu tujuan.

 

Waktu berputar, berliku, berubah jadi ular,

melilit tubuh mereka.

Lampu-lampu mata merayap,

mencari petunjuk di tengah kegelapan.

Pohon-pohon berbisik,

mengembuskan kata-kata terlalu berat dipahami.

 

Di ujung ranting, angin membelai,

seolah ada pesan dari dunia lain.

Namun jarinya dingin,

seperti jamur yang menggantung di langit kelam.

Segala yang datang hanya meninggalkan

bekas luka—

jejak tanpa nama.

 

2021-2025

 

Bunga di Puncak Matahari

Jalanan itu cermin, kopi dingin meluber dari

cangkir retak,

bernyanyi lagu sumbang,

getarannya menyentuh anggur yang tumpah ke lantai,

menciprat wajah lusuh,

rambut kusut seperti awan kelabu,

merenung, melayang.

 

Bunga itu duduk, secangkir teh di tangan,

menatap ke arah matahari yang tinggi di langit,

“aku lagi nungguin ibu,

balik dari pasar, bawa kado

buat ulang tahunku yang sepi,

tapi kado itu mungkin cuma bayangan,

karena ibu asyik ngobrol dengan bayang-bayang di pasar.”

 

sementara itu, bunga itu duduk,

seperti orang yang hilang dalam pikirannya,

mendelik ke langit yang tak pernah mengenal malam,

katanya, ibu bakal bawa roti isi belut,

tapi belutnya tenggelam, jadi debu di lautan

dadanya ibu,

yang tak pernah tahu kenapa dia ada di

sana.

 

Lalu, bunga itu tertawa, tertawa yang hilang,

karena ibu selalu kembali tanpa kado,

bunga itu hanya dapat doa dari kucing

penjaga pintu dunia,

pergi dengan permen karet yang tak pernah habis

 

Bunga akhirnya menangis,

tapi menangis seperti hujan yang tak tahu

kenapa harus jatuh ke tanah

“ulang tahunku sepi,” katanya,

tapi siapa yang perduli,

karena tanah juga tak tahu alasan keberadaannya,

hanya menunggu hujan tanpa tanya

mengapa.

2021-2025

 

Baca Juga : Katarak; Nyala Api yang Dipadamkan Abu dan Puisi Lainnya Karya Viesha Fereggdina

 

Palito

One response to “Doa-Doa yang Menghitung Diri Sendiri dan Puisi Lainnya Karya Palito”

  1. […] Juga : Doa-Doa yang Menghitung Diri Sendiri dan Puisi Lainnya Karya Palito atau kolom sastra […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *