Surabaya; Kota Hujan Api dan Puisi Lainnya Karya Ahmad Farid Yahya

Surabaya; Kota Hujan Api dan Puisi Lainnya Karya Ahmad Farid Yahya

BRANTAS; DAHA-HUJUNG GALUH

apa yang memisahkan tanah-tanah rekah?

sulur-sulur sunyi menggerayang

di balik selimut seranjang

 

tanah dan batu menunggu

diam tak memulai

selagi kendi mengucurkan

batas yang menghujani alas

mencipta Brantas

hingga ke ujung

tempat kapal-kapal mengapung

mengarung ke relung palung

menopang segobang

segobang remang

 

dari Daha ke Hujung

Galuh tersemih lenguh

yang entah sampai pupuh

ke berapa akan terbasuh

 

Lamongan, 21 Oktober 2024

 

DHARMAWANGSA; METAMORFOSA

mengeja dharmawangsa

ruam-ruam kota

yang sedikit menyisa cerita

seribu tahun nestapa

 

mahapralaya

di hari bahagia

pernikahan hikmad

berubah kiamat

 

pedang melayang

menebas hulubalang

kekuasaan tumbang

manusia sekadar tanah gersang

 

tangis-tangis sunyi

segala hilang pasti

jauh dari mimpi

jauh dari senyum sepasang kekasih

 

di jalan dharmawangsa lenting peperangan menjelma bising kendaraan dan warung kopi tempat dangdut koplo mengerat telinga bersahut-sahutan dengan sumbang pengamen yang menanam kesedihan pada bola-bola matanya

 

Lamongan, 24 Oktober 2024

 

SURABAYA; KOTA HUJAN API

Surabaya hujan api

dan panasnya menenggelamkan kampung

kumuh yang mencari diri di rimba

raya modal asing

bising ———-

hanya peluh yang benar-benar air

muka bahagia ketika

tubuh terhimpit kuburan

dan nisan-nisan pada plang

hotel, apartemen, mall, plaza ———-

api menghunjam

Surabaya yang hilang

 

TABEBUYA

Mersault berjalan

di trotoar ketika

bunga-bunga tabebuya

berjatuhan

 

di tangannya terselip pistol

dan sebotol alkohol

 

angin berhenti

mobil-mobil laju sendiri

sudut pandang jadi ambang

kebenaran dan keraguan

garis hitam putih

menyepih kertas-kertas kosong

di TK B yang memutar tangisan

dan nyanyian balonku ada lima

 

bunga-bunga jatuh

takdir rusuh

jalan keruh

orang-orang misuh

 

Mersault menyeberang

menembaki Ahmad Yani

dengan pistol yang dicuri

di pasar malam tempo hari

 

dor! dor! dor! kata mulutnya

sebab setelahnya hanya suara brak!

dan air yang muncrat dari pistolnya

serta darah membuncah dari kepala pecah

 

Lamongan, 16 Oktober 2024

 

ARTIFISIAL PANDEGEILING

Google maps merayap ke kuping:

Belok kiri ke jalan Pandegiling.

Makian dan umpatan menerjang seganas elang mencincang ular di pematang.

Pintu gorong-gorong bersahutan dengan akrilik Kimia Farma dan lampu merah yang terus terjaga. Klakson bertubi-tubi, bunyi-bunyi tak tahu diri. Matahari mekar. Pohon-pohon tak menyapa. Tak ada yang membuka cerita.

Kesadaran tumbuh. Kejanggalan waktu. Usia melepuh.

Jok belakang tak lagi terisi setelah salak anjing bersahut salak anjing dan terkaman harimau berakhir terkaman harimau. Desing mendesing. Barang pecah menambah bising … ngiiing

Kota setengah asing.

Belok kiri ke jalan Pandegiling.

 

Lamongan, 16 Oktober 2024

 

JALAN SEMARANG

toko buku membilas waktu

tahun-tahun beku

ketika terdengar derap rapi

dan segala yang kiri harus dikebiri

 

kini buku tinggal tumpukan

kertas-kertas batas zaman

ocehan malih sobekan lakban

keramaian berganti antrian pesanan

 

Lamongan, 16 Oktober 2024

 

Baca Juga : Akan Kuceritakan Malamku dan Puisi Lainnya Karya Dodik Suprayogi

 

Ahmad Farid Yahya

One response to “Surabaya; Kota Hujan Api dan Puisi Lainnya Karya Ahmad Farid Yahya”

  1. […] Baca Juga : Surabaya; Kota Hujan Api dan Puisi Lainnya Karya Ahmad Farid Yahya […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *