Sudah menjadi rutinitas tiap malam bagi bapak-bapak di perkampungan dan pedesaan. Dengan berteman senter berbahan bakar baterai serta sarung yang lebih pas disebut sorban. Kelompok kecil ini memang sudah terjadwal setiap malam untuk menjaga lingkungan sekitar, jauh sebelum ada ide membayar security atau satpam. Biasanya terdiri dari 4-5 orang. Kelompok ini kompak untuk berkumpul di gardu atau pos kamling sesaat sebelum mereka menjalankan tugasnya. Tugas yang lebih jelas juntrungannya ketimbang “petugas keamanan” yang sebenarnya.
Mengambil jimpitan, demikian kiranya tugas bapak-bapak tersebut. Kebiasaan yang sudah ada semenjak era penjajahan. Aturan mainnya cukup sederhana, setiap rumah akan memberikan sejumput beras yang diletakan di kaleng depan rumah —Tak sedikit yang kemudian menggantinya dengan uang receh lima ratusan. Tak berselang lama atau tepatnya di malam hari, bapak-bapak yang bertugas akan mengambil satu per satu isi dari kaleng itu. Sembari memastikan tidak ada kekacauan di lingkungannya.
Swasembada Pangan ala Pedesaan
Sejumput beras yang mereka kumpulkan biasanya akan didistribusikan ke tiap-tiap rumah sekali dalam sebulan. Hasilnya ya kira-kira 5-10 kg. Memang jumlahnya tidak begitu banyak, terlebih jika dibandingkan dengan stok di gudang BULOG atau stok impor dari Thailand. Jumlah yang tak seberapa, kiranya cukup untuk upaya swasembada pangan ala masyarakat pedesaan.
Sekalipun beras yang dihasilkan sangat beraneka ragam, karena memang tidak ada pakem untuk mengisi jimpitan dengan beras tertentu. Beras jatah pun tak masalah. Karena bukan masalah berasnya, bagi masyarakat desa yang jauh lebih penting adalah kebersamaannya, guyub rukunnya dan tentu nilai gotong royongnya. Ini semacam sense of belonging atas perasaan ngrumangsani tanpa embel-embel si kaya dan si miskin.
Barang Desa itu Jauh dari Modern
Begitu mungkin kiranya isi benak pemerintah kita saat ini. Agaknya, swasembada pangan bagi mereka adalah dengan meluluhlantakkan hutan kalimantan dan papua menjadi Food Estate Nasional. Program yang benar-benar ora karuan ini malah menyisakan keresahan bagi petani. Tak ada hasil, tapi lahan sudah kadung dibikin. Program ini nyatanya tidak kemudian menjadi kapok untuk diteruskan, gembar-gembor Prabowo soal swasembada pangan ternyata hanya sekedar kamuflase menutupi kegagalan Food Estate ciptaan mantan bosnya – agaknya sekarangpun masih menjadi bosnya.
Padahal kalau mau menyontek apa yang sudah dilakukan masyarakat desa, mereka pasti tidak akan keberatan. Terlebih jika pemerintah menyontek makna mendalam dari arti gotong-royong, bahkan tanpa simposium atau seminar kebangsaan, mereka sudah lanyah untuk mempraktikan dasar negaranya.
Sekilas memang jimpitan tak lebih modern dari upaya-upaya yang dilakukan pemerintah. Tapi diakui atau tidak, cara ini lebih jelas dan konkret daripada kemrungsungnya pemerintah ngurusi soal pangan.
Gedabrus Soal Swasembada Pangan
Walaupun beras sudah menjadi makanan bagi masyarakat Nusantara jauh sebelum masehi, namun pemilihan beras menjadi pangan nasional adalah berkat campur tangan Soeharto – Presiden kedua sekaligus ex-mertua dari Prabowo Subianto. Saking ketergantungannya sampai-sampai ada istilah “belum makan kalau belum menelan nasi”. Pokoknya semua harus dinasiasikan, makan mie pakai nasi, makan bakso pakai nasi, makan soto dicampur nasi. Padahal tidak semua daerah bisa ditanami beras. Alhasil, wajar ketika kita benar-benar keranjingan beras sampai beli ke negara tetangga.
Lain mertua lain menantu, kini sang menantu Bung Harto kembali menyiarkan swasembada pangan. Naas, idenya lebih cocok dan pas untuk skala catering pernikahan atau kepala sie konsumsi perusahaan. Gedrabusnya itu loh yang tak henti-hentinya dipertontonkan. Di atas mimbar memang berapi-api, menggelegar seolah-olah dia paham segalanya. Coba aja ditanya, paling-paling dijawab Ndasmuu.. atau kalau pertanyaannya kritis akan dijawab Biarkan Anjing Menggonggong !!
Penulis : Imam Gazi Al Farizi
Editor : Muhammad Ridhoi
Baca Juga : Sound Horeg yang Bikin Budeg: Sebuah Uraian dari Kacamata Linguistik atau kolom esai lainnya
Leave a Reply