Jangan tanya, kenapa saya bisa salto di depan maestro Reog Ponorogo dan teman dari Polandia. Yang perlu dipertanyakan adalah: kenapa Kementerian Kebudayaan seperti tengklek kehabisan minyak, padahal sudah jadi kementerian sendiri? Ini bukan soal gaya-gayaan. Ini soal arah. Arah kebudayaan bangsa yang konon besar ini.
Sudah lama saya ingin menulis soal ini. Tapi setiap kali saya buka laptop, muncul wajah Raffi Ahmad dan Deddy Corbuzier—utusan khusus dan staf menteri—yang bikin saya ingin uninstall akal sehat. Budaya kok diwakili orang yang lebih paham algoritma YouTube ketimbang falsafah Ki Hadjar? Kalau begitu, mending saya nobatkan TikTokers yang bisa joget Jaranan sebagai duta kebudayaan sekalian.
Kemen(Kebud-Kebudan)
Kementerian Kebudayaan (ya, yang dulunya cuma Dirjen di Kemendikbudristek itu) sekarang sudah punya rumah sendiri. Nomenklaturnya keren. Ada Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi; Direktorat Jenderal Diplomasi, Promosi, dan Kerja Sama Kebudayaan; serta Direktorat Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan. Tiga kepala naga yang mestinya bisa mengeluarkan api untuk menerangi jalan kebudayaan nasional.
Tapi ternyata, api itu hanya cukup untuk membakar anggaran cetak logo dan baliho seremoni. Anggaran yang tadinya hampir 2,4 triliun, turun jadi 1,2 triliun demi efisiensi. Tapi apa yang efisien? Program rebranding logo? Kunjungan kehormatan yang hanya menambah koleksi dokumentasi di Instagram pejabat? Audiensi para seniman yang pulang dengan sekadar foto bersama?
Saya sebetulnya tak begitu anti dengan seremoni. Namun, janganlah kebudayaan hanya dijadikan dekorasi. Seniman hanya dijadikan pemanis panggung tanpa ruang aktualisasi. Perlu ada perubahan struktur dan keberpihakan. Sebab hari ini, realisasi program banyak yang stagnan. Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan memang disalurkan ke Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) wilayah, tapi sifatnya prosedural, bukan substantif. Urusan pelestarian dan pemanfaatan budaya masih terganjal birokrasi yang lebih cocok untuk urusan tender ketimbang pengabdian pada warisan leluhur.
Seperti yang Sudah-sudah
Pemerintah harus ingat: UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang bukan sekadar tumpukan pasal. Di sana ada amanat yang harus dijalankan. Amanat agar negara hadir, bukan sekadar lewat baliho. Saya sebagai akademisi FISIP UNAIR dan pegiat kebudayaan ingin mengusulkan: benahi dulu postur anggaran. Perbesar alokasi untuk program-program yang berdampak langsung pada masyarakat adat, komunitas seni, dan para pemuda pegiat budaya. Kembalikan nyawa program seperti Indonesiana dan fasilitasi tematik yang benar-benar membangun ekosistem.
Pemerintah juga perlu serius menata ulang ikon-ikon budaya. Bukan bermaksud merendahkan siapapun, tapi kenapa yang tampil selalu mereka yang punya massa, bukan yang punya makna? Tunjuklah pemuda-pemudi yang terbukti menggerakkan komunitas tanpa pamrih. Yang menjaga tari, naskah kuno, bahasa daerah, dan nilai-nilai leluhur dari kepunahan. Bukan yang sibuk endorse skincare di tengah rapat kebudayaan.
Coba tengok Jawa Timur. Di sana ada Taruna Budaya, sekelompok pemuda yang diinisiasi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Mereka bukan pekerja honorer atau selebritas lokal. Mereka “tentara serbaguna” kebudayaan. Dari mendokumentasikan upacara adat, menjadi narahubung komunitas budaya, sampai menuliskan ulang dongeng yang mulai dilupakan. Semua dilakukan dengan ketulusan, bukan demi konten.
Langkah partikelir semacam itu mestinya dilirik dan direplikasi oleh pusat. Kementerian Kebudayaan jangan hanya pasif menerima proposal, lalu menilai dari kesempurnaan administrasi. Kebudayaan itu bukan soal kelengkapan berkas, tapi kelengkapan jiwa. Yang perlu disasar adalah bakat-bakat terpendam dari anak muda di berbagai pelosok negeri. Yang hidupnya mungkin tak bisa menulis proposal, tapi bisa menghidupkan budaya dengan keterampilan yang luar biasa.
Budaya Tak Sesempit Itu
Fungsi promosi dan diplomasi kebudayaan juga harus direvisi. Ditjen Diplomasi dan Promosi jangan hanya mengatur pameran ke luar negeri yang banyak diisi batik dan angklung, lalu selesai. Diplomasi budaya yang sejati adalah bagaimana nilai-nilai Indonesia bisa mempengaruhi peradaban dunia, bukan sekadar mengisi slot budaya di kedutaan besar. Kenalkan filosofi gotong royong sebagai solusi krisis kolektivitas dunia. Tampilkan sastra lokal sebagai refleksi spiritualitas Asia yang lembut tapi kuat.
Kementerian juga perlu belajar mendengar. Jangan alergi terhadap kritik. Termasuk tulisan ini. Kami yang di bawah tahu betul persoalan yang tak tersentuh oleh data kementerian. Dari minimnya pelatihan pelestari budaya, sulitnya akses fasilitasi di daerah terpencil, hingga ketimpangan dukungan pada seni tradisi dibanding seni pop. Kritik bukan bentuk kebencian, tapi sinyal bahwa ada yang perlu diperbaiki.
Satu hal lagi: budaya bukan hanya seni. Saya ulangi: budaya bukan hanya seni. Itu sebabnya perlu ada revisi pada cara pandang kita, termasuk pada mata pelajaran “Seni Budaya” yang sebaiknya diubah jadi “Kesenian” saja, agar tak terjadi reduksi. Budaya adalah sistem nilai, cara hidup, logika sosial. Kalau budaya hanya dipahami sebagai seni, maka politik, hukum, ekonomi yang penuh kekerasan hari ini bukan bagian dari budaya, padahal jelas-jelas produk budaya juga.
Redefinisi Budaya
Undang-undang memang memberi mandat pelindungan pada negara dan fasilitasi pada masyarakat, tapi praktiknya tak seimbang. Banyak komunitas yang berjalan sendiri. Tidak semua punya kemampuan menulis proposal, apalagi akses terhadap informasi dan keuangan. Negara harus hadir dengan pendekatan asimetris. Berikan afirmasi pada yang lemah. Dorong keberdayaan, jangan hanya menilai dari seberapa pandai mereka mengikuti standar administrasi kementerian.
Saya juga ingin menyoroti definisi budaya itu sendiri. Koentjaraningrat, yang sering dikutip, memang berjasa besar, tapi kita perlu bergerak lebih jauh. Budaya bukan sekadar produk etnik. Budaya Indonesia semestinya didefinisikan sebagai kesadaran moral bangsa yang hidup dari semangat kemanusiaan, keberagaman, dan kemandirian. Bukan sekadar tari-tarian daerah yang ditampilkan di pembukaan acara PON, Asian Games atau apalah itu.
Dan jangan cuma membandingkan Kemenkebud Indonesia dengan Kemenkebud Prancis dalam urusan museum Louvre. Lihat semangat dasarnya. Prancis menjadikan budaya sebagai ruh bangsa. Mereka sadar bahwa budaya adalah fondasi bagi revolusi, bukan tempelan brosur pariwisata. Indonesia juga bisa, kalau ada kemauan. Kementerian sudah berdiri sendiri. Sekarang tinggal bagaimana berdiri tegak, bukan sekadar tegak di depan podium konferensi.
Arah Hidup
Sebagai akademisi dan budayawan, saya menulis ini bukan karena saya lebih tahu. Tapi karena saya mencintai negeri ini. Dan karena saya tahu, cinta itu tak cukup ditunjukkan dengan bunga dan logo baru. Cinta pada budaya ditunjukkan dengan kerja, keberanian, dan keberpihakan.
Jangan sampai anak cucu kita nanti hanya mengenal budaya lewat filter Instagram. Atau lebih buruk lagi, mengira budaya kita cuma soal siapa yang paling viral. Sudah saatnya kita berhenti menjadikan budaya sebagai alat. Tapi menjadikannya arah. Bukan hanya arah pulang, tapi arah hidup.
Penulis : Probo Darono Yakti
Editor : Imam Gazi Al Farizi
Leave a Reply